3

34.6K 2.1K 28
                                    

Tak terasa pertemuan itu sudah setahun yang lalu. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa orang yang ada di depanku sekarang ini adalah, ehm, kekasihku.

"Jadi jadwal kamu udah bener-bener kosong kan?" Evan menoleh sekilas dari pandangannya ke jalan.

"Udah. Lagian emang semester ini kan aku gak banyak kuliah," jawabku dengan sabar. Evan sudah berulang kali menanyakan ini untuk memastikan jadwalku kosong selama weekend pekan depan.

"Kerjaan di biro?" dan pertanyaan berikutnya juga terulang. Selain kuliah, aku juga jadi freelance di salah satu biro desain. Kadang kalau tidak ke kampus aku berada di sana.

"Udah aku kosongin, sayang. Kecuali kalau tiba-tiba ada pesenan baru," Jawabanku kali ini agak berbeda. Biasanya aku hanya menjawab bahwa semuanya benar-benar kosong.

"Tolak dong," kata Evan dengan kening berkerut.

Aku tertawa. "Iyaaaa, aku udah bilang aku mau ke Bali dan gak boleh diganggu 3 hari sebelum dan sesudahnya."

Raut wajah Evan jadi lebih ceria. Ia tersenyum dan lagi menoleh kepadaku. "Great,"

Aku mengangguk. "Ngomong-ngomong, kamu mau ajak aku kemana sih?" Kulongokkan kepala ke arah jalanan. Daerah yang tidak jarang aku kunjungi sebenarnya. Tapi tidak banyak urusanku ke daerah sini akhir-akhir ini.

"Ke rumah sepupuku," 

"Oh ya? Ada acara sesuatu?" aku kaget. Selama setahun pacaran, kami belum saling mengenalkan diri kepada keluarga satu sama lain. Hanya teman-teman yang sudah tahu hubungan kami. Maka ketika akhirnya Evan bilang mengajakku ke rumah keluarganya, tentu saja aku terkejut.

"Nope. They just want to see you," Evan nyengir.

"What? You're kidding!"

Evan mengangkat bahu. "Selama setahun kita pacaran, kayaknya kita belum kenal deket sama keluarga. Kenapa gak dimulai sekarang kan?"

Thats exactly what I think, Mr. "True," mau tak mau aku tersenyum.

"Nanti aku yang ketemu keluargamu ya," Evan mengulurkan tangan kirinya.

"Okay," aku terkikik. Meraih tangannya dan menggenggam jemari besar dan hangat tersebut.

***

"Kita sampai," ujar Evan begitu mobilnya sampai di depan rumah mungil nan asri berwarna abu-abu.

"And whos exactly live in here?" tanyaku sebelum turun. Supaya aku tahu harus berbicara apa menanggapi tuan rumah dan entah siapa lagi yang ada di dalam. Di sekitar kami tampak banyak mobil terparkir. Kecuali yang punya rumah memang koleksi mobil dan menyimpannya di luar.

"Begini. Ayahku adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Aku anak tunggal. Adiknya yang pertama punya dua orang anak, namanya Alan dan Demian. Alan baru saja menikah dan belum punya anak. Demian sudah punya anak berusia 7 tahun bernama Moses dan istrinya Theta sedang hamil lagi. Adik ayahku yang kedua, punya dua orang anak bernama Jen dan Amy. Jen sudah punya putri berusia 5 tahun bernama Cahaya. Sedangkan Amy sedang mengandung. Rumah ini adalah rumah Amy dan Lee. Di dalam sana, ada seluruh sepupuku dan juga para orang tuanya."

Aku berusaha mengingat semua nama tersebut namun tidak berhasil. Baiklah, aku bisa mengingatnya sambil jalan. Eh, semua orang ada di dalam?

"Serius? Seluruh keuarga besar kamu ada di dalam? Kamu kok gak bilang? Aku kan bisa dandan lebih rapi?" Aku panik! Evan cuma bilang mau mengajakku kencan. Jadilah aku hanya mengenakan jeans dan ruffle top dengan flat shoes. 

"Kamu cantik kok," Evan tersenyum lalu mengecup bibirku cepat. 

Senjatanya selalu itu, senjata ampuhnya untuk membuat aku yang panik dan kebingungan (atau marah) jadi lebih kalem.

Rain on My Parade - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang