Evan bangun lebih dulu. Jam di meja menunjukkan pukul 6 pagi. Kondisi Jihan sudah lebih baik. Panasnya turun dan sudah tidak mengigau. Napasnya teratur. Pelan-pelan agar tak membangunkan Jihan, Evan melepaskan pelukannya. Memperbaiki posisi tidur Jihan. Kemudian ia keluar dari kamar.
Vino mendongak menatapnya saat Evan keluar. Sepertinya dia tidur di sofa semalam.
"Gimana keadaan Jihan?"
"Panasnya udah turun. Keringat banyak keluar. Gue rasa sebentar lagi istirahat dia bisa sembuh,"
Vino mengangguk. Agak gengsi mengucapkan terima kasih.
"Gue balik dulu," Evan pamit.
"Lo gak mau nunggu sampai dia bangun?"
Evan menggeleng. "Dia nyebut nama gue karena sakit. Kalau benar-benar ada gue di depannya sekarang, mungkin dia bakal marah. Biar gue ketemu saat dia benar-benar sadar aja."
Vino sebenarnya tercengang mendengar itu. Evam tidak memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan rupanya.
"Untuk sarapan? Gue pesankan makanan di bawah ya? Nanti diantar kemari," kata Evan sebelum keluar.
"Ya. Thanks Van," kata Vino akhirnya.
"Gue yang perlu bilang makasih," Evan tersenyum lalu keluar.
***
Jihan mengerjapkan matanya. Badannya terasa lebih ringan dari hari kemarin. Jihan meraba pipi dan keningnya. Basah oleh keringat namun suhu badannya sudah turun.
Perlahan Jihan menyingkapkan selimut dan turun dari tempat tidur. Sedikit demi sedikit melangkah keluar. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah Vino yang duduk menonton TV dengan beberapa hidangan di hadapannya.
"Vin,"
"Hei," Vino berdiri dan menyambutnya. "Udah mendingan?"
Jihan mengangguk, berjalan ke arah sofa ditemani Vino.
"Mau makan? Abis itu minum obat terus istirahat lagi ya,"
Jihan hanya mengangguk saja. Matanya mengikuti gerakan Vino saat menyiapkan sarapan.
"Gue cuma ingat gue pingsan. Gimana lo bisa disini?"
"Gue kesini tadi malam. Gue pencet bel tapi gak ada respon. Ditelepon pun gak diangkat. Akhirnya gue coba masuk dan untungnya kodenya bener. Ulang tahun lo,"
Jihan tersenyum sedikit. Ia bingung juga mau memberi kode apa.
"Gue menemukan lo terkapar. Jadi gue jagain lo disini,"
"Makasih ya Vin udah jagain gue,"
Vino diam, lalu tersenyum sedikit. "Ada orang lain yang jagain lo,"
"Siapa? Mama?" Jihan memandang sekeliling. Siapa tahu mamanya tiba-tiba datang kesini.
"Bukan. Evan,"
"Evan?" Jihan benar-benar terkejut. Keningnya berkerut.
Vino menghentikan kegiatannya menyiapkan sarapan lalu memandang Jihan sepenuhnya. "Lo ngigau. Nangis-nangis. Nyebut nama Evan. Tidur lo juga gak nyenyak. Jadi gue seret Evan kesini. Dia nemenin lo tidur dan lo langsung tidur dengan damai,"
"Bohong,"
"Buat apa gue bohong coba?" Vino menggeleng. Menyodorkan sandwich.
"Vino... maaf..."
"Gak perlu. Lagian lo lagi sakit. Nih makan. Abis itu mandi, minum obat. Istirahat lagi,"
Vino memang tersenyum menatapnya. Tapi Jihan tahu Vino cemburu dan kesal.
***
Sepanjang akhir pekan Jihan berusaha menebus kesalahannya kepada Vino. Mereka tidak membicarakan Evan sedikit pun dan Jihan bermanja-manja pada Vino. Membuat Vino merasa dibutuhkan.
Jihan beristirahat sambil rebahan di sofa, menyandarkan kepalanya di pangkuan Vino. Vino sendiri ikut menonton film sambil mengelus rambut Jihan.
"Gak mau tidur di kamar aja?" tanya Vino dengan lembut.
"Nggak ah. Disini aja sekalian nonton,"
"Mau makan sesuatu?" Vino menawarkan. Jihan menoleh ke meja. Banyak makanan disitu hasil Vino tadi ke minimarket sebentar.
"Itu," Jihan menunjuk toblerone. Vino mengambil satu dan menyerahkannua kepada Jihan. "Suapin dong,"
"Alah manja," Vino menyindir tapi ia tersenyum juga. Dalam hati ia senang karena Jihan bermanja-manja pada dirinya. Daripada kepada orang lain.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain on My Parade - END (GOOGLE PLAY)
Romance21+ Jihan selalu jadi pihak yang menanti, terdiam menunggu kekasihnya untuk kembali dari perantauan dengan kesibukan dan mungkin, bunga lainnya. Namun Jihan selalu sabar menghadapi Evan. Meski itu artinya ia harus berdiri sendiri di bawah hujan sek...