9

21K 1.6K 20
                                    

"Jihan!"

Kugerakkan tubuhku untuk menyusul Jihan, namun gerakan Andrea sangat cepat, ia menahan lenganku.

"Kamu mau kemana, Evan?"

"I got to explain to her,"

"Menjelaskan apa lagi? Bahwa kamu khilaf berciuman denganku? Bagaimana kalau sekaligus menjelaskan bahwa kamu dan dia ingin mengakhiri hubungan kalian?" Andrea tersenyum lebar dengan bibirnya yang berwarna merah itu.

Aku tak menanggapinya. Kutepiskan tanganku dari genggaman wanita ini dan segera membuka pintu. Aku tak melihat siapapun di luar, kukejar hingga lift dan berusaha secepat mungkin menaiki lift menuju lantai dasar.

Sungguh aku tak menyangka Jihan akan nekat datang ke kantorku. Padahal sudah berkali-kali aku larang dia untuk datang.

"Cepatlah," ujarku pada lift yang terasa begitu lambat.

Aku hampir melompati palang demi bisa segera mengejar Jihan. Namun langkahku terhenti. Di luar hujan turun sangat lebat. Tidak mungkin kan Jihan nekat menerobos hujan? Lagipula dia membawa mobil. Seharusnya dia sudah berada di mobilnya.
Aku pandangi bagian depan gedung kantor ini untuk melihat mencari sosok Jihan ataupun mobilnya. Namun pandanganku terbatas karena hujan yang begitu deras mengaburkan segala sesuatunya. Kuputar badanku kembali ke resepsionis.

"Lihatkah perempuan pakai baju pink kesini?"

"Yang pakai rok pak? Rambut diikat?"

"Ya,"

"Sudah pulang, Pak. Dia terlihat buru-buru,"

"Kamu lihat dia pakai mobil atau jalan kaki atau..."

"Jalan kaki, Pak,"

"Trims,"

Aku kembali membalikkan badanku dan melihat keluar. Haruskah kuterobos hujan ini demi mencari Jihan? Baiklah. Aku melirik ke kanan dan ke kiri. Tepat saat itu Security baru saja membantu salah satu manajer Astra Internasional turun dari mobil dan masuk ke gedung dengan menggunakan payung. Begitu bapak itu sampai, segera kusambar payungnya dan menerobos hujan lebat ini.

Kususuri pekarangan depan gedung AI yang terbilang lebar. Kupicingkan mata demi mampu melihat dengan detil. Tidak ada siapapun disini. Aku berlari hingga ke bagian depan dimana petugas parkir menatapku heran. Masih tidak ada siapa-siapa. Aku terus berjalan hingga ke tepi jalan. Sempat terlintas di pikiranku bahwa Jihan bisa gelap mata dan terjadi kecelakaan pada dirinya. Namun semua terlihat aman-aman saja.

"Sial," kutendang genangan air sampai mengotori sepatu dan celanaku. Biarlah. Dengan langkah lesu aku kembali ke dalam. Mengembalikan payung kepada security. Sepertinya aku akan menelepon Jihan dulu.

Satu dering. Dua dering. Tiga dering. Tidak diangkat.

Satu kali telepon. Dua kali. Tiga kali. Tak diangkat juga. Aku benar-benar khawatir kali ini.

***

Mungkin supir taksi ini menyesal mengangkut seseorang yang seperti baru tercebur got seperti aku. Atau mungkin dia malah iba. Sekujur tubuhku basah kuyup. Kalau bajuku diperas, air yang keluar bisa satu galon rasanya. Aku bergerak agak tidak nyaman karena pasti jok belakang taksi ini basah karena ulahku.

"Neng, kedinginan gak?" tanya supir taksi tersebut.

"Eh?"

"Neng abis keujanan kan? Mau makanan atau minuman yang anget-anget? Biar kita mampir dulu,"

Aku tersenyum. Terharu karena masih ada yang memperhatikan aku.

"Gak usah, Pak. Saya pulang aja. Biar istirahat di rumah. Oh iya, maaf ya Pak joknya jadi basah,"

"Gak masalah, Neng. Ya sudah, saya jalan agak cepet ya biar si neng cepet sampai rumah,"

"TErima kasih, Pak,"

Aku kembali bersandar ke kursi. Setelah menangis di bawah hujan tadi aku memutuskan untuk pulang saja. Beruntung, tidak lama dari aku memutuskan pulang, taksi biru menghampiri aku dan langsung saja aku masuk ke dalamnya. Kalau aku sedang membawa mobil sendiri, mungkin aku tidak sampai di rumah segera karena aku lebih memilih menangis. Tapi saat ini aku bisa menyendiri dan tetap sampai ke rumah karena ada yang menyetir untukku. Di satu sisi aku juga tidak menangis karena aku tidak mau terlihat menyedihkan.

"Sudah sampai Neng,"

Aku menoleh ke sebelah kiri. Ya kami sudah sampai di depan rumahku. "Makasih ya Pak. Sekali lagi maaf," Kusodorkan 3 lembar uang seratus ribuan kepadanya.

"Lebihnya banyak Neng," kata pak supir tersebut.

"Buat keringin jok sama beli yang anget-anget pas hujan, Pak," kataku sambil tersenyum. Dia terlihat begitu bersyukur. Aku segera turun dari taksi dan menerobos hujan yang masih turun dengan derasnya. Melihat aku menerobos hujan, Security yang berjaga saat itu langsung mencari payung.

"Ujan-ujanan bisa bikin sakit, Non," kata Pak Roim.

"Saya lupa bawa payung, Pak," kataku. Ia menemaniku sampai ke rumah utama tanpa bicara apa-apa lagi. Untung saja saat ini mama dan papa masih di tempat kerjanya masing-masing. Aku bergegas menuju kamarku, membuka pakaian yang basah dan bergegas masuk ke kamar mandi. Mengisi bath tub dengan air hangat dan sabun mandi aroma strawberry.

Saat sedang sendiri begini kilasan kejadian tersebut berputar kembali di depan mataku.

"Ya Tuhan.. bodohnya aku..."

Aku kembali menangis. Menangisi Evan yang rupanya sudah berpaling kepada wanita lain. Menangisi kebodohanku yang sudah begitu percaya pada dirinya. Belum lagi tentang apa yang telah kami lakukan saat di Bali.

"Bodoh bodoh bodoh!"

Aku mungkin akan tenggelam di bath tub kalau mama tidak tiba-tiba masuk dan menatapku cemas.

***

Ponselku tewas. Bisa jika ingin diperbaiki namun aku biarkan ia tewas saja. Banyak kenangan antara aku dan Evan disitu selama 1 tahun hubungan kami. Jadi kubiarkan saja dia tetap begitu.

Aku takjub bahwa aku tidak jatuh sakit setelah terkena hujan yang begitu dahsyat itu. Setelah mama menarikku dari bath tub, aku bercerita bahwa aku melihat Evan mendua di belakangku. Mama tak bicara apa-apa namun memelukku saat aku menangis, tenang, menangis lagi. Mama juga yang memberiku segelas susu hangat dan coklat. Keesokan harinya aku bangun dengan badan segar sehingga tidak ada alasan bagiku untuk tidak ke kampus.

"Kita berusaha ngehubungin lo tapi HP lo mati ya, Han?" tanya Liana begitu aku sampai di kelas.

"HP gue rusak. Kenapa?"

"Selesai UAS nanti kan ada Gala Dinner. Panitia dosen minta lo yang bantu-bantu. Gara-gara kita dianggap sukses ngadain acara talkshow dulu itu,"

"Oh. Gala Dinner doang kan? Perlu panitia segala?"

"Yaaa, karena Gala Dinnernya kan gak cuma makan. Ada lelang, hiburan, acara dansa,"

"Sempet gak ya gue? Tesis gue nih. Baru mau ambil data,"

"Sama. Gue juga," Liana ikut merenung. "Ngomong-ngomong, mata lo kenapa deh?"

"Iya, mata lo kenapa?" Vino tiba-tiba nimbrung.

"Gak kenapa-kenapa," aku memalingkan wajah. Rupanya mata bengkakku tak bisa disembunyikan begitu saja. Dengan sengaja aku mengambil kacamata tanpa minus yang memang kadang aku bawa. Kukenakan agar orang-orang tak curiga.

"Jadi, oke gak?"

"Jadi panitia?"

Liana mengangguk.

"Ya udah. Tapi gak total ya,"

"Nanti gue sampaikan," Liana mengangkat jempolnya. Aku mengangguk, pandangan kualihkan ke Vino yang sedari tadi tidak melepaskan tatapannya dari aku.

"Lo cantik juga ya pakai kacamata,"

***

Rain on My Parade - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang