"Hey,"
"Hai," Jihan membalas sapaan Vino sambil tersenyum tipis. Setelah itu dia diam lagi. Vino menjemputnya di Changi begitu Jihan mendarat dari Jakarta. Sepanjang perjalanan dia terus mengingat obrolannya dengan Amy. Ia ingat apa alasan Evan menduakannya. Jihan juga ingat bagaimana Evan terlihat berbeda 180 derajat.
"Sakit?" Vino menyentuh kening Jihan.
"Apa? Nggak," Jihan menepis pelan tangan Vino dari keningnya.
"Kok diem aja? Ada kejadian di Jakarta?"
"Nggak. Cuma dateng ke acara hadiahnya Marshella, makan siang, belanja-belanja dan makan sama mama papa, terus balik kesini,"
"Hmm. Tapi kayaknya diem banget daritadi..."
Jihan mengangkat bahu. "Capek kali Vin,"
"Okay. Kalau gitu makan malemnya Subway yuk,"
Jihan tertawa. "Gak ada hubungannya deh,"
Vino cuek saja. Ia meraih tangan Jihan. Bersama-sama, mereka menuju restoran tersebut.
***
"Besok kita berangkat bareng ya," kata Vino saat mereka sudah sampai di lantai apartemen.
"Tumben,"
"Iya ada meeting pagi-pagi,"
"Baiklah kalau gituuu,"
Jihan berniat melepaskan tangan Vino karena ia sudah tiba di depan pintu kamarnya. Tapi Vino malah mencengkram tangannya lebih erat.
"Vin?"
"Kita sudah 'kabur' berdua berapa lama, Jihan?"
"Er, satu setengah tahun lebih?"
Vino tidak membalas kata-kara Jihan dengan kata-kata lainnya. Ia malah menarik Jihan mendekat ke arahnya, perlahan menyentuhkan bibirnya ke bibir Jihan.
Jihan tidak memejamkan matanya. Ia berkedip beberapa kali, bertanya pada diri sendiri apa ini kenyataan atau ia masih terlelap di atas pesawat. Tapi ia bisa merasakan bahwa bibir Vino benar menempel di bibirnya dan mata Vino yang terpejam yang ada di depan wajah Jihan. Tubuh Jihan membeku. Untuk pertama kalinya setelah Vino mengejarnya terus menerus, Vino berani melakukan hal ini.
Jihan mengedip lagi lalu tersadar 100%. Didorongnya tubuh Vino menjauh dan Jihan memalingkan wajahnya. Tepat saat itu teleponnya berdering. Seakan menyelamatkannya dari kegugupan.
"Halo Pa," jawab Jihan agak gugup.
"Papa ganggu?"
"Oh nggak. Gak apa-apa. Aku baru sampai apartemen abis makan malam. Kenapa Pa?"
"Papa ada undangan gala dinner. Kamu bisa temani papa?"
"Sebagai putri papa atau karyawan papa?"
"Putri papa yang juga Account Manager salah satu cabang Bank Mutiara,"
"Hehe. Kapan Pa?"
"Dua minggu dari sekarang,"
"Hmm oke. Kayaknya jadwalku masih kosong,"
"Papa berangkat Kamis pagi. Kamu juga samakan saja jadwalnya. Kita ketemu disana,"
"Lho? Bukan di Jakarta?"
"Bukan. Di Tokyo,"
"Hah? Kok jauh banget? Terus kenapa ajak Jihan?"
"Iya undangannya dari KBRI, silaturahmi dengan beberapa mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di Jepang,"
"Oh I see,"
"Gak masalah kan? Nanti dari papa aja yang pesankan tiketnya ya,"
"Iya, Pa,"
Telepon usai. Dalam kurang dari 5 menit, dua kali ia dikagetkan. Dicium Vino dan diajak menemani ayahnya ke Tokyo. Biasanya mama yang bertugas.
"Everything's fine, Jihan?" tanya Vino dari belakangnya.
"No!" Jihan refleks berseru. Vino terkejut, Jihan buru-buru merapikan ekspresinya. "Yes. Ah everything's fine,"
"Okay..."
"Vin, gue istirahat dulu. Dah, sampai besok," Jihan melambai, memasukkan kode kamarnya lalu menutup pintu di depan Vino.
***
"We're just friends, arent we?" tanya Jihan saat dirinya dan Vino sedang makan malam dengan menu delivery, di apartemen Vino.
"Until when?" tanya Vino dengan serius.
"I...I dont..."
"For more than a year, we just have each other here. So I guess we're more than just a friend,"
"We can..."
"Try? No. No more time to try. I love you Jihan. I guess you understand clearly what I want us to be..."
"Vin..."
"A yes from you or I'll fly back home to Jakarta. First flight,"
"Vino, you're intimidating me!" seru Jihan.
"Yes I am," Vino menyimpan kotak makannya di meja, berbalik menatap Jihan sepenuhnya, menegang tangannya. "And the answer is?"
Jihan menimbang-nimbang. Vino orang yang baik dan menyayanginya. Vino rela mengejarnya sampai ke Singapura demi bisa bersama dirinya. Vino juga pekerja keras. Tidak ada yang salah dengan Vino. Saatnya membuka hati untuk yang baru. Mari lupakan Evan sepenuhnya.
"Yes," kata Jihan.
"Yes?"
"Yes, Vinooo," kata Jihan dengan sabar.
Vino tersenyum lebar. Ia memeluk Jihan langsung saat itu juga.
"Heii nanti tumpah," Jihan mengulurkan tangannya untuk mencegah Vino menumpahkan makanan yang ia pegang.
"Oke oke. Sorry," Vino mengalihkan kotak makan Jihan ke meja lalu lanjut memeluk Jihan. "Thank you,"
Jihan membalas pelukan Vino, tersenyum.
"Boleh ya?" tanya Vino setelah mereka berpelukan beberapa detik.
"Hmm?" Awalnya Jihan tidak mengerti, tapi saat Vino tersenyum lebar, Jihan mengangguk.
Vino menciumnya lagi kali ini. Berbeda dengan yang pertama, kali ini Jihan membalas ciuman Vino.
"Weekend ini kita kencan ya," kata Vino setelah mereka selesai berciuman dan melanjutkan acara makan mereka.
"Gak bisa. Kan gue ke Jepang lusa,"
"Ah iya. Ya udah. Minggu depan ya,"
"Liat jadwal dulu ya, Bapak Vino,"
"Alah sok sibuk," Vino mencubit hidung Jihan dan Jihan hanya tertawa.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain on My Parade - END (GOOGLE PLAY)
Romance21+ Jihan selalu jadi pihak yang menanti, terdiam menunggu kekasihnya untuk kembali dari perantauan dengan kesibukan dan mungkin, bunga lainnya. Namun Jihan selalu sabar menghadapi Evan. Meski itu artinya ia harus berdiri sendiri di bawah hujan sek...