Sayang, oleh-oleh buat di kantor cukup gak?
Temen-temenku di kampus pada kalap semua nih hahaAku mengirimkan pesan itu pada siang pertama setelah kami selesai liburan. Oleh-oleh yang kubeli untuk teman-teman di kampus langsung habis dalam waktu kurang dari 5 menit. Memang orang-orang ini kadang rakusnya luar biasa.
Aku menjalani kuliah dengan penuh semangat hari ini. Tentu karena sudah mengecas energiku selama akhir pekan kemarin.
"Seneng banget sih?" Liana menyenggol tanganku, melihat aku yang tersenyum-senyum padahal penjelasan dosen di depan terbilang serius.
"Gitu deh," sahutku sambil tersipu malu.
"Emang kemana aja kemarin?" Liana berbisik lagi.
Pelan-pelan kusebutkan destinasi wisata yang aku dan Evan kunjungi selama 4 hari di Bali.
"Pantesan lo seneng. Tempatnya kece-kece. Udah gitu lo sekamar kan?" Liana terkikik namun buru-buru ia menelan tinjunya agar tak menimbulkan kehebohan.
"Heh," malah aku yang berseru. Membuat Vino yang duduk di arah jam 10-ku menoleh. Aku membalasnya dengan tanda peace.
"Itu kan yang sebenernya bikin seru?" tanya Liana lagi.
"Diem-diam aja lo, Li," aku menggelitik pinggangnya. Liana sibuk menghindar tapi sulit karena kami tidak boleh menimbulkan keributan.
Ngomong-ngomong soal liburan kemarin... aku mengeluarkan ponsel dari saku celana dan memperhatikan notifikasi yang muncul. Tidak satupun pesan dari Evan Dirga. Padahal kalimatku tadi sudah dikirim dari 4 jam lalu.
Sudahlah mungkin dia memang sibuk.
***
Aku kembali mengecek ponsel setelah sampai di rumah hampir pukul 8. Sepulang kuliah tadi aku dan lainnya menyempatkan diri mengetik tesis bersama-sama untuk saling menyemangati. Aku juga sempat mengirim pesan pada Evan, memberinya informasi bahwa aku sedang memgerjakan tesis. Namun hingga malam ini, tak ada balasan juga. Bahkan WhatsApp-nya masih centang abu-abu.
Kuputuskan untuk meneleponnya langsung.
Tuut
Tuut
Tuut
Begitu berulang kali sampai angka (10) muncul di samping nama Evan Dirga.
"Sibuk banget sih Pak," aku bergumam. Kuanggap Evan sangat sibuk karena ia harus menyelesaikan pekerjaan yang tidak ia sentuh pekan lalu. Aku pun berangkat tidur masih dengan rasa penasaran.
***
Ketika keesokan harinya aku bangun, hal pertama yang aku lakukan adalah mengecek ponselku. Hatiku bersorak ketika kulihat ada pesan dari Evan. Ia mengirimkannya pukul 1 dini hari.
Maaf baru bales, Yang. Sibuk banget seharian. Gimana tesisnya?
Dengan hari girang kubalas pesan Evan ini.
Lancar. Hari ini aku mau ngerjain seharian di Starbucks. Kamu bisa mampir? Nanti sekalian kita makan siang bareng.
Pesan itu tak langsung berbalas. Tentu saja. Ini masih pukul 5 subuh dan Evan mungkin masih tidur karena kelelahan. Rasa penasaranku sedikit menghilang karena Evan tak membalas pesanku karena memang sedang sibuk bekerja.
Seharian ini aku mendekam di Starbucks Kota Kasablanka. Salah satu mall yang paling aku suka karena kesan yang ditimbulkan terasa glamor. Aku memang sengaja mematikan ponsel dan tak menghubungkan Macbook Air-ku dengan wifi. Agar aku dapat fokus mengerjalan tesis sembari mendengarkan musik.
Aku baru menyadari bahwa matahari hampir tergelincir ketika sekarang Starbucks mulai penuh oleh orang-orang yang mengenakan setelan kerja. Sepertinya sepulang kerja mereka mencari ketenangan atau sekedar berkumpul dengan teman disini. Kugerakkan badanku hingga terdengar bunyi tulang bergemeretak. Untunglah ada banyak kemajuan dalam tesisku. Aku putuskan untuk pulang agar bisa makan malam di rumah. Kunyalakan kembali ponselku. Sekaligus deg-degan menunggu apakah ada pesan balasan dari Evan.
Nihil.
Hanya ada pesan dari mama yang minta dibelikan brownies dan cinnamon roll Starbucks. Tanpa terasa bibirku menekuk ke bawah. Kubereskan barang-barangku. Membelikan pesanan mama lalu berjalan gontai ke mobil Yarisku.
***
Aku mulai kebingungan. Sudah dua minggu sejak kami selesai berlibur ke Bali dan Evan seperti terombang-ambing dalam ombak. Kadang ada, kadang tidak. Kadang membalas pesanku, kadang dibaca pun tidak. Kutelepon berkali-kali, tidak ada satupun yang diangkat. Ia hanya berkata bahwa ia sedang sibuk. Aku mencoba untuk terus memberinya semangat, mengingatkannya untuk makan dan minum vitamin. Kadang aku berniat untul menghampiri dia di kantor. Namun niat itu selalu urung karena ketika aku bilang aku ingin datang, Evan selalu menjawab dengan cepat, melarangku pergi. Atau tiba-tiba saja tugas desain dan tesisku menumpuk. Pembimbing tesis memintaku menyerahkan kuesioner yang siap disebar agar aku segera dapat mengumpulkan data. Sedangkan permintaan desain juga tak kalah menggunung.
Sementara Evan....hilang ditelan bumi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain on My Parade - END (GOOGLE PLAY)
Romance21+ Jihan selalu jadi pihak yang menanti, terdiam menunggu kekasihnya untuk kembali dari perantauan dengan kesibukan dan mungkin, bunga lainnya. Namun Jihan selalu sabar menghadapi Evan. Meski itu artinya ia harus berdiri sendiri di bawah hujan sek...