"Om Evan!"
Seruan dari anak kecil berusia 5 tahun yang berulang tahun hari ini adalah alasanku rela mengabaikan ajakan golf dengan para pemilik ATPM. Aku mempercepat langkah, mendekati dia yang begitu bersemangat berlari ke arahku. Mengabaikan gaun ala Queen Elsa yang ia kenakan.
"Halo, Cahaya!" Aku menarik Cahaya ke pelukanku dan mencium pipinya.
"Halo, Om Evan," Cahaya balas memeluk aku, mengulurkan tangannya, meminta aku mengulurkan tanganku untuk dia cium.
"Selamat ulang tahun ya," kucubit pipi gembilnya dan langsung memunculkan rona kemerahan. Membuat aku agak was-was, khawatir dimarahi ibunya.
"Kadonya mana Om?" Cahaya langsung mengangkat kedua tangannya.
"Bilang makasih dulu dong sama Om Evan," kata sebuah suara lainnya. Kutolehkan kepalaku dan melihat ibu Cahaya berada di depan kami.
"Makasih Om Evan. Kadonya mana?"
Aku dan Jen sama-sama tertawa.
"Kadonya ada di mobil. Saking gedenya gak bisa Om Evan bawa sendiri," kataku.
"Aku yang bawa aja. Aku kuat kok kan suka minum susu," Cahaya mengangkat kedua tangannya.
"Ga usah. Nanti Om yang bawain," aku menepuk kepala Cahaya yang dikepang dua ini. Dia lucu sekali.
"Mau ya?" goda Jen di hadapanku.
"Mau apaan?" aku pura-pura tidak tahu. Kuturunkan Cahaya agar ia bisa bermain dengan teman-temannya sebelum acara ulang tahun dimulai.
"Mau punya anak juga," kata Jen, ia tertawa geli.
"Ah," aku menggaruk kepalaku. Dibilang tidak mau sebenarnya mau. Dibilang mau tapi ya...
"Evan?" Panggilan lainnya menyelamatkan aku dari kewajiban menjawab pertanyaan Jen.
"Hei, Amy. Apa kabar?" Aku menoleh dan melihat sepupuku yang lain.
"Fat," Amy memutar matanya. Aku tertawa, memeluk dan mencium pipi kanan kirinya.
"Aku akan heran kalau kamu gak gendut padahal usia kandunganmu sudah... sudah berapa bulan?"
"7 bulan," Amy tersenyum, mengelus perutnya yang membuncit.
"Dan mana laki-laki yang berani melakukan ini?" Aku menyeringai. Mengobrol dengan suami sepupuku yang satu ini selalu menarik. Bicara topik bisnis dan bisnis. Mengingat dia juga seorang pengusaha. Lain halnya mengobrol dengan Joshua, ayah Cahaya dan suami Jen. Bicara negara negara dan pendidikan. Maklum, Joshua adalah dosen.
"Hmm, mungkin mencari makanan lain yang bisa dimasukkan ke mulutnya," Amy menjawab dengan sedikit raut kesal.
"Lho?"
"Kamu tau, aku yang hamil, dia yang ngidam. 'Ma Belle, aku mau martabak nutella nih' atau 'Ma Belle, sate padang yuk' dan itu jam 1 malam, Evan!" Amy menggeleng, rambut ikalnya bergerak-gerak.
Aku tertawa semakin keras. "Dan apa jenis kelamin bayimu?"
"Laki-laki,"
"Perfect. Dia pasti duplikat ayahnya,"
Amy memutar bola matanya lagi. "Mungkin aku jadi punya dua beruang madu di rumah nanti,"
"Hei, duduk yuk. Udah mau mulai," Jen menunjuk tempat duduk untuk para orang dewasa.
"Ayo," Amy mengangguk. Berjalan perlahan dengan perutnya yang besar.
"Ayo kubantu," aku mengulurkan lengan kiriku untuk digandeng Amy. Namun belum sempat Amy meraih tanganku, ada tangan lain yang menyela.
"Biar aku saja,"
Amy dan aku sama-sama menoleh ke arah orang tersebut. Amy mendengus dan aku menyeringai.
"Lee,"
"Evan," Lee tersenyum.
Kami berjabat tangan. Sembari berjalan, Amy menggandeng tangan kiri Lee. Meski Lee lebih fokus mengobrol denganku.
"Yak, kalau Lee udah ketemu Evan, udah deh ngobrolnya bisnis terus," celetuk Amy.
Aku dan Lee tertawa. Lalu melanjutkan pembahasan kami.
Namanya pesta ulang tahun anak-anak, acaranya hanya 1 jam lebih sedikit. Setelah pembagian bingkisan untuk para tamu dan foto bersama, acara usai. Gantinya halaman belakang rumah keluarga Jen dan Amy ini jadi tempat kumpul keluarga.
"Evan sehat Nak?" tanya Tante Grita, sembari memangku cucunya, Cahaya, yang sedang membuka beberapa kado.
"Sehat, Tante. Ada salam dari Mama dan Papa. Maaf gak bisa dateng,"
"Iya gak apa-apa. Salam balik ya," kata Tante Grita. Aku mengangguk.
"So... datang sendirian lagi kali ini?" Amy mendudukkan diri di sampingku sambil membawa piring barbeque.
"Biasanya juga dateng sendiri kan?" Aku mencomot salah satu isi piring Amy.
"Hmm, iya sih. Tapi emang yang kita ketemu di PI atau di Senci itu gak diajak kesini?"
"Cuma temen itu, My," aku tertawa. Ibu hamil ini jadi lebih cerewet.
"Mau aku kenalin ke temenku gak?"
"Hmm, trying to be a matchmaker, dont you?"
Amy mengangkat bahu. "Diantara sepersepupuan kita dari pihak mamaku, dari pihak papamu berarti, cuma tinggal kamu, Evan Dirga, yang belum menikah."
Aku tertawa. "Dan itu masalah?"
"Nope for me. But for you, yes. Gimana kalau di hari raya nanti kita kumpul dan cuma kamu yang jomblo? Dalam sepersepupuan ini cuma ada 6 orang. Kamu si anak tunggal dari Om Abi, Alan dan Damian anak-anaknya Om Restu, juga Jen dan aku. Satu orang berbeda bakal langsung ketauan."
Aku lagi-lagi tertawa. Padahal aku yang paling tua diantara 6 sepersepupuan ini. Memang Jen dan aku seumur tapi dia lebih muda 2 bulan. Jen sudah punya anak usia 5 tahun. Amy sedang mengandung bayi yang susah payah ia dapatkan dari kisah cintanya yang berliku. Damian yang berani menikah muda dan sekarang bahkan sudah mau punya 2 anak. Lalu ada Alan yang baru menikah dengan Oci 4 bulan lalu. Yeah cuma aku yang tersisa.
"Kaya," Amy melanjutkan, memandangiku lebih intens. "Tampan. Religius. Baik hati. Sehat lahir batin."
"Apa sih My?"
"Kamu gak gay kan, Evan?"
Pertanyaan Amy membuat aku tertawa terbahak-bahak. Membuat semua orang menoleh. Termasuk Alan, Oci, Damian, Tetha, dan satu bocah bernama Moses, putra Damian.
"Kenapa nih?" Lee menghampiri aku dan istrinya. Diikuti para sepupu lain, Alan, Damian dan Jen.
"Your wife thought that I'm a gay. Do I look like one?"
Lee diam. Berpandangan dengan yang lainnya.
"Yes you are," kata Lee dengan wajah sedih. Keningku berkerut. Lalu ia tertawa.
"He doesnt look like one. How could you think that, Ma Belle?"
"Cause he aint got married til now," Amy bersungut-sungut.
"Okay. Nanti kukenalkan pacarku," Aku akhirnya mengangkat tangan, menyerah. Semua orang langsung memandangku. Pelan-pelan kuambil ponsel dari saku. Sedikit berlama-lama untuk membuat orang-orang semakin penasaran. Karena para tante dan om juga ikut hening.
Setelah menemukan apa yang aku cari di iPhone-ku, aku kembali memandang keluarga besar ini. Kusodorkan sebuah foto.
"Namanya Jihan Melodia, pacarku,"
***
Coba tebak, di part ini ada siapa aja dan dia muncul di cerita yang mana? :D
Xoxo
-Amy
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain on My Parade - END (GOOGLE PLAY)
Romantizm21+ Jihan selalu jadi pihak yang menanti, terdiam menunggu kekasihnya untuk kembali dari perantauan dengan kesibukan dan mungkin, bunga lainnya. Namun Jihan selalu sabar menghadapi Evan. Meski itu artinya ia harus berdiri sendiri di bawah hujan sek...