37

16.3K 1.4K 64
                                    

Hampir setiap hari Evan datang ke kantor Jihan. Kadang hanya menunggu di lobby lantai dasar. Kadang hingga ke lantai 34. Sekarang Jihan datang dan pulang dijemput Vino terus. Agar setiap Evan menyapanya, biar Vino yang menangani.

Tak sekalipun Jihan menjawab sapaan atau tatapan Evan. Hanya sekali ia memandang Evan diam-diam. Memperhatikan wajahnya yang tirus. Hampir saja Jihan mengulurkan tangan dan menyentuh wajah itu, mengelusnya perlahan, mencoba memberikan kekuatan dan meyakinkan Evan bahwa semuanya baik-baik saja.

Tapi kemudian ia ingat bahwa Evan perlu berjuang lebih.

"Vin, gue gak ngantor deh," kata Jihan pada hari Jumat pagi, via telepon ke apartemen Vino.

"Kenapa?" Suara Vino terdengar cemas.

"Pusing aja kok."

"Perlu gue bawain obat? Makanan?"

"Gak usah. Masih ada roti. Obat juga ada. Gue minum obat terus tidur aja kayaknya gak apa-apa. Nanti juga sembuh. Tapi kalau ke kantor sekarang kayaknya gue gak mampu,"

"Ya udah. Kabari gue kalau lo butuh apa-apa ya,"

Vino sebenarnya khawatir. Tapi ini bukan kali pertama Jihan bilang pusing selama mereka kabur ke Singapur. Toh nanti malam Jihan sudah kembali sehat.

***

Evan menunggu di gedung Bank Mutiara sampai pukul 10 namun Jihan tak kunjung tiba. Ia mulai resah. Apa Jihan kembali meninggalkan dia? Evan memutuskan ia akan mencari informasi. Ia tidak tahu dimana tempat tinggal Jihan ataupun Vino. Tapi ia tahu dimana Vino bekerja. Kemarin-kemarin Vino sempat tidak sengaja menyebut.

Evan sampai di gedung sederhana di daerah kreatif Singapura dan langsung mencari lokasi kerja Vino.

"Ngapain lo kesini? Cari gue?"

Evan berbalik dan mendapati Vino sedang memegang cangkir kopi.

"Memutuskan mengejar gue dan pindah dari Jihan?" Vino terkekeh. Ia berjalan melewati Evan dan bermaksud untuk masuk.

"Jihan gak masuk kerja. Dia kemana?"

Vino mendengus. "Kalau gue bilang dia balik ke Indonesia?"

"Gue balik hari ini juga,"

Vino membalas dengan tawa. "Dia gak mau ketemu lo, jadi dia mengurung diri di kamar,"

"Dia gak...sakit kan?"

Vino kaget, sebentar. Cepat-cepat dikuasi ekspresi wajahnya lagi. "Dia cuma mau kerja dari apartemennya,"

"Vin, gue cuma mau ngobrol sama Jihan sebentar. Gak boleh?"

"Apalagi yang mau lo jelaskan?"

"Banyak Vin,"

"Jelaskan ke gue. Biar gue jelaskan ke Jihan,"

Evan mendengus. "Gak bisa. Jihan harus jadi yang pertama tahu,"

"Kalau gitu mungkin selamanya lo gak akan pernah bisa memberitahu dia,"

"Vino, gue cukup bersabar menghadapi lo. Jangan sampai gue harus menggunakan kekerasan,"

"Kekerasan? Yang ada gue yang nyeret lo ke polisi," Vino balas mengancam. "Stay away from Jihan. While I can warn you this kindly,"

"Gue akan mencari cara lain,"

"Silakan," Vino mengangguk.

***

Kepala yang sedari tadi berdenyut rupanya tak kunjung membaik. Jihan sekarang merasakan badannya juga mulai kedinginan.

"AC-nya..." Jihan meraih remote AC dan melihat bahwa ia sudah mematikan AC sedari tadi. Sambil menyeret badannya yang berat dan kepalanha yang seperri mau pecah, Jihan menuju kotak obat di kamar mandi. Ia meraih termometer dan menaruhnya di lidah. Dengan bersusah payah, Jihan membaringkan tubuh di tempat tidur yang sudah gak karuan.

Rain on My Parade - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang