Ragu-ragu kulangkahkan kaki menyusuri lorong rumah sakit mewah ini. Lagi-lagi kurasakan aura mengintimidasi yang bisa saja membuatku balik kanan bubar jalan. Mengubah rencanaku mengunjungi orang yang menurut cerita sedang terbaring sakit. Sepertinya bukan gedungnya yang membuatku terancam, melainkan siapa orang yang akan kutemui ini. Kusadari bahwa selama kami saling mengenal, aku hanya tahu tentang dia. Aku mengabaikan fakta seperti apa keluarganya, pekerjaannya, aktivitas lainnya. Aku seakan mengenakan kacamata kuda dan meyakini bahwa apa yang kulihat adalah seutuhnya dan sebenarnya.Kupegang erat parsel buah di tanganku sampai berbunyi gemerisik karena plastiknya tersentuh. Seperti akan presentasi di depan dosen penguji yang galak, kutarik nafasku berulang kali dan kulatih lagi percakapan yang sudah aku persiapkan di rumah.
"Evan, aku dengar kamu sakit,"
"Evan, kamu sakit ya?"
Ah, aku menggeleng. Tentu saja dia sakit. Maka dari itu dia ada di rumah sakit.
"Evan, aku cuma mau kasih buah ini..."
Hey dia beli mobil sendiri saja bisa.
"Aku khawatir karena katanya kamu dirawat di rumah sakit,"
Huh, masih khawatir? Lupa sudah putus? Oke, biarlah dialog yang terucap apa adanya saja.
Kubuka pintu ruang rawat mewah itu. Pemandangan yang menyambutku seharusnya tidak membuatku kaget lagi.
Evan dan wanita yang tempo hari diciumnya menoleh kepadaku. Keduanya kaget karena pasti tak menyangka ada aku disini. Aku menelan ludah, mengumpulkan segenap keberanianku.
"Mau apa lagi kamu datang kemari?" wanita itu yang menemukan suaranya lebih dulu. Aku menoleh padanya, melihat wajahnya yang memang cantik namun aku yakin make up-nya dipasang setebal 2 senti. Pakaiannya bermerk dan modis, seperti wanita-wanita sosialita biasanya. Huh, mau banding-bandingin harta?
Aku abaikan pertanyaan dia dan kualihkan pandanganku kepada si pasien.
"Aku cuma bawa pesan dari Tante Dian, temennya orang tuamu, tanteku. Dia bilang semoga cepat sembuh. Ini parsel dari beliau," dengan cuek aku letakkan parsel tersebut di meja. Pintar sekali aku berbohong ya. Tante Dian hanya menitipkan salam. Buahnya dariku tentu saja! Tapi mengingat kalimat yang menyambutku bernada tidak suka dan menunjukkan bahwa aku tidak sepantasnya disini, buat apa aku repot-repot menunjukkan perhatian.
"Terima kasih," sahut Evan lemah.
"Sudah lebih sehat juga rupanya. Aku sampaikan kondisimu ke Tante Dian nanti,"
Setelah berkata begitu aku mundur. Tak perlu memandang si nenek sihir ber-make up tebal itu.
"Jihan," kudengar suara Evan memanggilku. Aku berbalik.
"Nanti kamu kesini lagi kah?"
Pertanyaan apa itu? Setelah sebulan lebih membuangku sekarang dia bertanya apakah aku akan datang lagi? Sial sial sial. Otakku berkata tidak tapi hatiku berkata iya.
"Evan!" seru si wanita entah siapa namanya itu. Tampak geram.
"Kita sudah selesai, Evan," hanya itu yang kubicarakan. Aku kembali melanjutkan langkahku dan berjalan keluar.
"Ya ampun ya ampun ya ampun," di luar, aku mempercepat langkah, perasaanku bercampur antara senang bertemu dengannya lagi dan dia bertanya apakah aku akan datang lagi, cemburu karena wanita selingkuhannya ada juga disitu, dan geram karena Evan tak menjelaskan apa-apa.
"Hei,"
Tiba-tiba tanganku ditarik. Aku menghentikan langkah dan berputar. Wanita itu mengejarku rupanya.
"Gue Andrea. Lo dan Evan sudah putus kan? Jadi jangan temui Evan lagi. Gue dan Evan sudah resmi pacaran sekarang,"
Kutepiskan tanganku dari genggamannya. Hatiku yang sudah retak semakin hancur mendengar dia dan Evan sudah resmi berhubungan.
"Ambil," desisku lalu pergi meninggalkan dia.
***
"Selamat ya, Vino Ardana, MM," ujarku pada si master baru ini. Vino baru menyelesaikan sidang untuk mendapatkan gelar MM. Sebagai yang pertama menjalani proses ini, semua teman sekelas kami sengaja datang.
"Thank you, Jihan Melodia yang sebenernya buta nada," balas Vino, nyengir. "Giliran lo kapan?"
"Masih dua minggu lagi. Gue masih mau revisi dan bantu-bantu Gala Dinner dulu,"
"Perlu gue bantu untuk siap-siap?" Vino menawari.
"With pleasure," aku tertawa.
"Abis acara hore-hore ini kita ngobrol ya," Vino mengedipkan sebelah matanya lalu menghampiri teman lain yang juga mengucapkan selamat.
"So, gimana bantu guenya?" tanyaku saat aku dan Vino hanya berdua. Teman yang lain sudah pulang dan kami berdua sedang menikmati kopi di salah satu gerai kopi terkenal di Jakarta.
"Gue liat lo punya banyak masalah," Vino memulai.
"Haha sial lo,"
"Masalah hati dan masalah tesis,"
Aku berubah diam. Kenapa dia tahu saja aku punya masalah hati?
"Gue mau jadi obat penawar racun yang ada di hati lo," ujar Vino. Wajahnya mulai serius.
"Eh?"
"Gue mau bantu lo melupakan Evan dan fokus sama gue aja, Jihan,"
Ya ampun. Sejak kapan?
Aku tertawa garing untuk menutupi kekagetanku. "Itu gak penting, itu..."
"Itu menyita perhatian lo, Jihan. Mengganggu kehidupan lo. Mungkin gue memanfaatkan kesempatan ini. Dengan dalih bahwa perempuan yang baru putus bisa jadian dengan cowo baru yang ada di dekatnya saat dia patah hati. Bebas lo mau menganggap apa,"
"Gue gak bisa menjanjikan apa-apa, Vino,"
"Gue ga minta apa-apa, kecuali bahwa lo mengijinkan gue lebih dekat dengan lo jauh dari apa yang sudah kita jalani selama ini,"
Aku terdiam. Vino memang tidak tampak main-main. Dia juga bukan tipe yang sering menggoda perempuan.
"Kita...kita jalani aja..." akhirnya aku memutuskan.
Vino tersenyum. "Oke. Lalu soal bantuan untuk tesis lo..."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain on My Parade - END (GOOGLE PLAY)
Romance21+ Jihan selalu jadi pihak yang menanti, terdiam menunggu kekasihnya untuk kembali dari perantauan dengan kesibukan dan mungkin, bunga lainnya. Namun Jihan selalu sabar menghadapi Evan. Meski itu artinya ia harus berdiri sendiri di bawah hujan sek...