Jihan merenung sepanjang perjalanan menaiki MRT dari bandara menuju apartemen. Di pikirannya masih terbayang ratusan hadiah yang diberikan Evan padanya setelah mereka putus. Juga tumpukan surat yang Evan tulis dengan tangannya sendiri. Sebagian surat sudah Jihan baca. Semuanya Jihan bawa dalam tas.
"Ya Tuhan," Jihan menyurukkan wajah ke kedua tangannya. Ia bingung harus berbuat apa.
Tririring.
"Ya halo,"
"Thanks God. Lo dimana?"
"MRT, Vin,"
"Back to apartment?"
"Yeah," jawab Jihan pelan.
"Perlu gue jemput di stasiun?"
"Gak usah,"
"Oke. Ketemu di apartemen ya. Gue khawatir banget lo gak nyampe di Singapore kemarin malam kayak jadwal seharusnya,"
"Gue ada urusan mendadak di rumah,"
"Baiklah. Gue pesankan makan ya. Nanti kita makan bareng,"
"Ya," sahut Jihan pelan. Vino tak perlu tahu ia habis bertemu Evan kan?
***
"Selamat pagi," Evan menyapa salah seorang staf KBRI di hari Senin yang cerah ini.
"Pagi, Pak," pria muda itu mengenali Evan sebagai salah satu tamu gala dinner. Sehingga ia menyapa dengan ramah.
"Saya mau tanya beberapa hal. Bolehkah?"
"Iya silakan Pak,"
"Saat gala dinner kemarin, ada Pak Dito Husen dan putrinya. Betul?"
"Miss Jihan Melodia, iya betul,"
"Apa kamu tahu dia tinggal dimana?"
"Untuk hotelnya kemarin di Mandarin Hotel, Pak,"
"Oh bukan. Er, saya sempat mengobrol dengannya kemarin dan ada benda miliknya yang tidak sengaja terbawa oleh saya. Tapi saya dengar dia sudah pulang ke Indonesia sejak kemarin. Nah.."
"Miss Jihan tidak pulang ke Indonesia, Pak,"
"Ya?" Evan mulai bersemangat tapi sekaligus kaget juga.
"Saya memesankan tiket untuk mereka berdua..ah ini. Pak Dito Husen tiketnya Cengkareng-Haneda-Cengkareng. Sedangkan Miss Jihan Changi-Haneda-Changi."
"Changi?"
"Ya. Karena kata Pak Dito, putrinya tinggal disana,"
"Kamu punya alamatnya?"
"Oh kalau itu nggak, Pak,"
"Baiklah. Saya akan usahakan datangi langsung mungkin," Evan memaksakan dirinya tertawa. "Terima kasih ya,"
"Sama-sama Pak,"
Evan berjalan keluar KBRI. "Singapore, eh?"
***
Tanpa menunda waktu, Evan mengajukan cuti. Sekretarisnya hanya bertanya kemana Evan pergi sampai harus mengajukan cuti selama 2 minggu. Namun Evan bilang dia butuh berlibur. Alasan ini tentu saja diterima dengan senang hati. Mengingat Evan sepertinya hanya hidup di kantor. Sudah saatnya dia memiliki waktu sendiri.
Malam itu juga Evan berangkat ke Singapura. Jantungnya berdebar dan perasaannya tak menentu. Mungkin Jihan akan menolaknya lagi. Mungkin Jihan akan berlari lagi. Tapi Evan tidak bisa menunggu lagi. Satu tahun lebih ia menunggu dan mencari Jihan. Satu kesempatan penting tak akan disia-siakan.
Evan menginap di salah satu hotel sebelum memulai misinya mencari Jihan. Evan merasa memiliki perasaan bahwa untuk kali ini ia akan menemukan secercah harapan. Sehingga pertama kalinya dalam 20 bulan, Evan memiliki nafsu makan. Ia menikmati makan malamnya dengan sukacita.
***
Marina Bay Business District. Kesinilah pertama kali Evan berkunjung. Menurut dugaannya, Jihan ada disini. Ayahnya seorang CEO, bukan hal yang sulit memasukkan putrinya untuk bekerja dalam waktu yang cepat. Tapi kalau ternyata Jihan nemutuskan mencari pekerjasn lain, setidaknya dia bisa mengumpulkan petunjuk disini.
"Good morning. May I help you?" tanya resepsionis dengan ramah.
"Er, I need to meet my friend in Bank Mutiara. I dont know which floor she's in and my phone's dead. So maybe you can help me?"
"Of course. May I know your friends' name?"
"Jihan," ujar Evan. "Jihan Rizky Melodia,"
"Please wait a second," ujar resepsionis tersebut lalu dia menelepon. Berbicara sebentar lalu menghadap Evan kembali. "Miss Melodia is in 34th floor,"
"Oh God thank you," seru Evan dengan kelegaan luar biasa. Membuat resepsionis itu heran.
"You looks so glad," ia tersenyum.
"Yes, i've been waiting to meet her for a long time,"
"Owh, long lost friend I think?"
"Kind of," Evan tersenyum.
"Please leave your ID here and I'll give you the temporary ID. If you need help, there's our officer in every elevator. Have a nice day,"
"Have a nice day for you too," balas Evan sambil tersenyum. Hampir saja Evan berlari menuju lift namun ia ingat untuk jaga imej.
Lift sampai di lantai 34 dan Evan sendiri heran kenapa ini begitu mudah. Ia melangkah keluar lift, berbelok untuk mencari pintu masuk ketika dilihatnya orang yang ia cari tepat di depan matanya.
Jihan datang ke kantor diantar Vino karena Jihan tampak kurang sehat. Sekarang Vino sedang memegang pipi dan kening Jihan.
"Apa sih Vino. Gue gak apa-apa. Beneran," Jihan menepuk tangan Vino agar menjauh dari pipinya.
"Makanya senyum dong senyum," kata Vino, mencubit pipi Jihan sampai bibir Jihan tertarik.
"Iya iya, nih," Jihan tersenyum lebar lalu mengembalikan ekspresi wajahnya seperti semula.
"Thats my girl," Vino tersenyum lalu nekad mengecup bibir Jihan cepat.
"Heh ini di kantor!" Jihan mencubit perut Vino. Yang dicubit malah tertawa.
"Gue balik ya. Nanti malam gue jemput. Jangan lupa bekelnya dimakan,"
"Iya Ayah..." kata Jihan
Vino hanya memutar matanya. "Bye," ia mencium kening Jihan lalu berputar, bersiap memasuki lift. Namun langkahnya terhenti melihat siapa yang berdiri memperhatikan dirinya dengan tatapan bingung, kecewa, sedih, marah, dan cemburu.
"E...van?"
***
Komentarnya dong komentarnya komentarnyaaa. Cangcimen cangcimen cangcimen~
Aku seneng baca komentar-komentar pembaca soalnya :D
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain on My Parade - END (GOOGLE PLAY)
Romance21+ Jihan selalu jadi pihak yang menanti, terdiam menunggu kekasihnya untuk kembali dari perantauan dengan kesibukan dan mungkin, bunga lainnya. Namun Jihan selalu sabar menghadapi Evan. Meski itu artinya ia harus berdiri sendiri di bawah hujan sek...