Part 3

38 2 2
                                    

Nyeri masih menyerangku hingga menjelang pagi, tapi pekerjaan tak bisa menunggu.  Aku memaksa diriku bangun dari tempat tidurku dan berdoa luka itu akan membaik dengan obat lecet dan perban seadanya. aku baru menyadarinya saat tersangka utama yang membuatku terlibat masalah ini sudah menghilang, well...aku bisa saja menuntut ganti rugi tapi itu hanya seperti menambah masalah lain lagi.
Aku susah payah melangkahkan kakiku ke lokasi pengambilan gambar hari ini, tempatnya tak begitu jauh tapi dengan kondisiku yang seperti ini rasanya seperti sedang iseng bersepeda ribuan kilometer.
Park Joon Hae-shi sialan itu benar-benar sumber masalah. Aku harusnya sudah bisa merasakannya saat pertemuan ku pertama kali dengannya.
Aku akhirnya sampai di salah satu cafe di daerah Myeongdong, hari ini pengambilan gambar memang fokus di tempat ini, ada beberapa scene yang harus diselesaikan hari ini, kalau semua berjalan lancar hanya akan butuh 1 minggu sebelum pengambilan scene terakhir di daerah gyeongju. Aku hanya berharap cuacanya cukup cerah karena kalau hujan semuanya jelas berantakan. semua orang berharap musim semi tak akan segera berakhir karena pemandang gyeongju di musim itulah yang akan jadi scene terbaik film ini.
"Karina...kopiku..." Galih berteriak kearahku tapi kemudian mendesah kecewa melihat tanganku yang kosong.
Aku mengumpat dalam hati, aku benar-benar melupakannya. Apapun pekerjaanku disini tugas utamaku adalah aku harus memastikan galih mendapatkan kopinya setiap pagi.
Malam yang buruk dan pagi yang menyakitkan, aku punya banyak alasan untuk melupakannya. Hanya saja aku tak bisa jujur tentang itu.
"Aku beli dulu Ok?" Kataku, mengurungkan niatku bergabung dengan tim yang lain.
Tanpa menunggu persetujuan nya aku berbalik menyusuri jalan yang telah kulewati, aku yakin disini ada salah satu kedai kopi yang jadi favoritnya. Kurasa aku tadi melihatnya. Saat turun dari halte.

Aku berlari-lari kecil berharap dapat menemukannya tempatnya dengan cepat, dan rasanya benar-benar menyakitkan. setiap aku bergerak, kulitku seperti diiris berulang kali. bisa dibayangkan bagaimana mengerikannya itu.
Akhirnya aku menemukannya, setelah sekitar 50 meter yang begitu pedih, rasanya seperti baru saja bertemu dengan semua anggota super junior dan mereka sedang berusaha memperebutkan ku, oh baiklah...aku berlebihan, itu sama sekali tak ada hubungannya. Intinya aku lega.
Bunyi pintu cafe itu berbunyi saat kubuka, membuat sang barista menatapku dengan tersenyum.
"Selamat datang." Ucapnya cerah, andai aku bisa melakukan hal yang sama. Tapi yang sanggup kulakukan hanya membungkukkan badanku sedikit dan meringis. Sial! Sakitnya sudah semakin diluar kendali ku.
Aku berjalan mendekati counter, aku ingin penderitaan ini cepat berakhir.
"Ice americano, sedikit gula dan es." Kataku tanpa repot-repot melihat daftar menu, aku sudah terlalu hafal kesukaannya dan dengan kondisiku yang seperti ini aku kehilangan selera untuk minum kopi.
"Silahkan ditunggu..." Perempuan itu mencetak struk setelah aku membayarnya, memintaku menunggu sebentar karena memang sedang tidak ada antrian. Yah...satu hal lagi yang melegakan.
" Karina -shi!"
Aku menoleh, sapaan khas orang Korea disini kadang membuat ku tertawa, sering kali orang berpikir nama ku sama dengan mereka karena terdengar seperti 3 suku kata.
"Halo jin suk -shi..." Jawabku kurang antusias ketika akhirnya aku tahu siapa yang menegur ku. Dia nam jin suk, manajer si artis sialan itu. Aku yakin kalau dia tahu apa yang terjadi kemarin malam, dia tak akan mengucapkan namaku seriang itu, jadi aku anggap si Joon hae itu diam saja mengenai kejadian semalam.
"Silahkan..." Sang pelayan menyerahkan kopi pesananku, terima kasih Tuhan... akhirnya aku punya alasan melarikan diri.
"Ini pesananku, aku akan kembali dulu...sampai bertemu di sana jin suk -shi..." Kataku sambil tersenyum lebar, dan itu butuh tenaga besar.
"Oh...baiklah..." Jawabnya santai, menggeser tubuhnya ke depan mesin kasir.
Aku hampir bersorak lega saat melihat pintu keluar, mungkin aku akan bersembunyi di kamar mandi setelah ini, mencoba melihat lukaku dan kalau sempat, mengganti perbannya. Bagiku, menginjak rumah sakit adalah pilihan terakhir. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan jika dokter itu menanyakan bagaimana bisa perutku tertusuk, aku tak mungkin bukan menjawab karena mengiris wortel atau lobak? Kecuali aku menggunakan perutku sebagai tempat memotongnya, Haha aku pasti akan disodori formulir pendaftaran kelompok sirkus.
"Karina -shi...kau tak apa? Wajahmu kelihatan pucat..." Yah kenyataannya memang dia masih berusaha menahan ku. Dan aku harus melayaninya karena aku punya kesopanan. Salahkan saja itu.
"Aku baik-baik saja....mungkin kurang tidur..." Aku beralasan, dan harusnya itu cukup untuk segera membiarkanku pergi.
"Sungguh?" Kerutan di wajahnya menunjukkan keraguan. "Kau seperti sedang kesakitan..."
Haruskah aku bersorak Karena dia menebaknya dengan benar? Aku memang kesakitan sampai rasanya mau mati.
"Aku baik-baik saja jin suk -shi, tapi kurasa bisa jadi sebaliknya kalau kopi ini tak segera sampai di tangan pemiliknya..." Aku beralasan.
"Oh baiklah...jangan biarkan aku membuatmu dalam masalah..." Dia tampak khawatir, dan memberi isyarat mempersilahkanku pergi... tapi sial... ternyata bertemu dengannya hanya sebuah permulaan, hari burukku baru saja melewati pintu cafe itu tepat saat aku berbalik akan keluar. Dia tampak berusaha menyamarkan dirinya dengan kacamata hitam, Hoodie dan syal yang menutupi separuh wajahnya. Penyamaran klasik...dan dipikir tak kan ada orang yang tahu? Mereka bodoh atau apa...
"Halo..." Aku menyapanya, terpaksa. Dan dia tersenyum lebar melihatku...dia selalu terlihat ramah, kata-katanya selalu penuh keceriaan tapi untuk telingaku hanya terdengar seperti sampah yang berusaha membuatku tuli. Kenapa? Karena dia selalu menyulut emosiku tentang kesalahan remeh yang kulakukan atau kebetulan kulakukan.
"Annyeong Rina -shi, menyenangkan bertemu denganmu disini..."
Aku ingin tertawa, menyenangkan jelas bukan kata-kata yang kugunakan untuk menggambarkan bagaimana perasaanku saat bertemu dengannya. Kurasa dari ekspresi nya dia memintaku melupakan kejadian malam itu, baiklah...tak perlu repot-repot aku bahkan tak mau mengingat nya.
"Aku permisi dulu..." Enggan berbasa-basi. Meski senyum ku masih bisa bertahan.
"Tunggu..." Dia menghalangiku menuju pintu keluar, ekspresinya berubah. Aku tak tahu apa itu, senyumnya menghilang, raut mukanya jadi terlihat serius, dia marah? Hanya itu kesimpulan ku, padaku? 
"Aku harus pergi, aku sudah ditunggu." Aku tak mau lagi berpura-pura, aku tak punya waktu tapi alasan utamanya adalah lukaku semakin nyeri, aku bahkan mulai merasa mengeluarkan keringat dingin, tubuhku bahkan gemetar tanpa sadar menahan sakitnya. Mendadak segelas americano mulai terasa seperti sekarung beras.
"Kau terlihat kurang baik." Itu pernyataan.
"Dan apa masalahnya denganmu?"
"Kurasa aku bisa membantu..."
Aku menatapnya tampak ekspresi.
"Terima kasih, tapi aku tak butuh." Aku membalasnya ketus, aku tak bisa menahannya.
"Kurasa ada yang harus kita bicarakan..."
"Kurasa tidak." Potongku cepat, ya Tuhan bisa tidak dia menyingkir dan membiarkanku pergi? Kesakitan ini membuatku semakin membencinya...terus terang aku juga tak ingin kembali ke set dengan keadaan seperti ini, aku butuh lebih dari sekedar istirahat. Bersitegang dengannya bahkan mengeluarkan tenaga 2 kali lipat dari pada berlari.
Dia masih diam ditempatnya, hanya mengamatiku dengan pandangan mencurigakan, jadi kuanggap ini kesempatanku.
Aku membungkuk singkat, dan melewatinya menuju pintu keluar. Sesaat kukira semuanya berakhir...tapi untuk kesekian kalinya aku hanya bisa bermimpi tentang itu.
Dari banyak hari dimana aku bisa tertabrak orang asing, mungkin di jalan saat berjalan di trotoar atau di dalam bus yang penuh sesak, mungkin bisa jadi di pusat perbelanjaan yang dipenuhi bibi-bibi penggila diskon. Tapi tidak, momen itu terjadi di depan artis tampan menyebalkan itu, disaat perutku tersayat pisau dan tubuhku mulai menggigil karena mungkin lukanya mulai infeksi.
Anak kecil itu dengan rianganya melewati pintu kaca itu, mengabaikanku yang berdiri dibaliknya siap membuka pintu dari posisi yang berlawanan. Tubuhnya dengan bebas mendorongku terjungkal ke belakang, kepala kecilnya benar-benar memilih tempat yang tepat untuk mendarat. Detik yang sama, semua jenis kesakitan itu datang bersamaan, rasa pedih yang terbakar, tulang remuk dan nyeri yang mencengkeram otakku.
Aku bahkan akhirnya tahu bagaimana rasanya lenyap dari dunia ini dan kehilangan semua indera perasaku.

Emmergency Encountered (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang