Part 17

14 2 4
                                    

Hari ini terasa panjang, membuatku lelah hingga lukaku kembali nyeri. Dan anggap saja aku memang sedang dalam masa kegelapan. setelah kakakku pergi, banyak masalah yang menghadangku di belakang. termasuk Park Joon Hae di dalamnya. 

Sekarang apa yang harus kulakukan selanjutnya? letih aku memandang ruangan di depanku. rumah itu luas dengan ruang yang tak bersekat, ruang tamu berfungsi sama dengan ruang santai, dan dapur terbentang beberapa meter didepannya dengan meja besi yang lebar, bersih dan terlihat berat. melihat dapur yang tanpa noda membuatku yakin si pemilik mungkin hanya membuatnya sebagai pelengkap ruangan. mana ada rumah tanpa dapur kan?

yang membuatku heran adalah, setelah tadi pagi berkeliling aku hanya menemukan 1 ruang penyimpanan dan ruang cuci, tak ada lagi kamar tambahan. rumah ini sungguh cocok untuk pribadi egois dan kaku seperti Park Joon Hae. mungkin dia memang tak berniat memasukkan siapapun ke dalam rumahnya.

Pandanganku terhenti pada sosok yang sedang berdiri di seberang ruangan, entah sejak kapan dia disana. 

"Ehm!" kenapa rasanya jadi secanggung ini? baiklah, aku tinggal menghadapinya saja kan? aku ingin berteriak dalam hati. bagaimana menghadapi kenyataan kalau aku sekarang sudah menikah dan suamiku adalah pria yang disana, baiklah...lupakan sebutan itu. rasanya aneh dan menggelikan. di suatu titik permainan ini harus diakhiri, nanti.

Dia berjalan kearahku, dengan ekspresi yang tak terbaca, "Barang-barangmu sudah kuminta untuk dipindahkan kemari, kau tunggu saja."

Aku hanya diam mendengarkan, berdebat dengannya hanya sia-sia. 

"Kita akan bicarakan semuanya setelah kau obati lukamu."

Dahiku mengerut, kapan dia tahu kalau aku kesakitan? 

"Kita bicara sekarang saja." Tandasku, aku sama sekali tak boleh terlihat lemah. sudah cukup dia membuat peraturannya sendiri. paling tidak aku harus cukup keras kepala untuk tak selalu membuatnya terus mengintimidasi. aku juga punya harga diri. setidaknya sedikit.

"Baiklah, kalau itu maumu." Joon Hae berjalan menuju sofa tapi sesaat tampak limbung, membuatku spontan menggerakkan tubuhku menahannya. ah Sial! dia berat juga. aku jadi ingat dia sakit kemarin dan belum kemasukan apapun sampai sesiang ini. 

Joon Hae menarik dirinya cepat bahkan sebelum aku ikut ambruk bersamanya,

"maaf..." aku tiba-tiba menyesal, Kenapa sih aku jadi tak manusiawi begini? harusnya aku membiarkannya paling tidak cukup sehat untuk mendengarkan omelanku, dimana senangnya berdebat dengan orang sakit...lagipula aku jadi kelihatan begitu jahat.

Mengabaikanku dia berusaha mencapai sofa meski sesekali memijat keningnya tampak kesakitan.

"Kita bicara besok saja." putusku.

Dia menatapku lelah, "Sekarang saja."

Kenapa dia jadi keras kepala sih! "Kau sedang sakit."

"Lalu?" Aku memandangnya kesal, tidakkah dia berterima kasih sedikit padaku? aku mencoba melunak padanya setelah seenaknya dia mendaftarkan pernikahan palsu ku dan merubah statusku secara hukum. 

"Baiklah...tapi sambil makan." aku melempar tubuhku di sisi lain sofa dan mengetik sesuatu dengan ponselku. "Aku akan pesan makanan."

Setelah memilih sebuah nomor, aku menunggu nada panggilku diangkat sambil menatap Joon Hae sebal. tapi anehnya dia malah bersandar santai, melipat tangannya dan tersenyum menatapku. apakah kepribadiannya yang lain muncul lagi?

"Ah ya...aku pesan paket yang biasa, iya dua ya ahjumma! terima kasih....ah aku lupa, aku akan berikan alamat pengirimannya ya...bukan di rumahku, ya...terima kasih..." aku menutup teleponku hati-hati.

Emmergency Encountered (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang