Part 9

15 2 0
                                    

.....

aku diam di tempat dudukku. rasanya sedang mendengar bahasa asing yang sampai sekarang masih kucari terjemahannya di otakku. baru beberapa jam yang lalu dia menawariku menjadi kekasihnya dan sekarang aku sudah akan merencanakan pernikahan dengannya. woah...hubunganku ternyata membuat banyak kemajuan hanya dalam sekejap. dia pasti benar-benar tergila-gila padaku...ahaha, ok hentikan....

Dia masih fokus mengemudikan kendaraannya, sama sekali tak terpengaruh dengan responku yang lambat. sementara aku semakin tak tahu kemana arah idenya yang brilian ini. tidak...menjadi emosional bukan jalan keluarnya. aku akan membicarakannya baik-baik, aku cukup mampu untuk melakukannya.

"Kita butuh bicara." putusku akhirnya.

Dia tersenyum, "tentu saja, kita harus membicarakan banyak hal suapaya rencana ini terlihat nyata."

Aku menoleh, membelalakkan mataku. semua kata-katanya sungguh mudah membuatku kena serangan jantung, "tunggu...tunggu dulu...aku tak bilang aku menyetujui rencanamu."

"lalu?" dia mulau berlagak tolol. atau mungkin sebaliknya.

"Kita harus bicara...dan sejauh ini, bagiku rencana itu sama sekali tak bisa kuterima. jadi kita harus mencari rencana lain." jelasku. oh...aku ingin segera keluar dari mobil ini.

"Baiklah." Dia sontak menyentakkan kemudinya ke kiri jalan, melupakanku yang sama sekali belum siap dengan keputusannya itu. YAAA!!! Dasar laki-laki sialan! aku harus memegang erat sabuk pengamanku untuk mengatasi keterkejutanku. rasanya seperti akan dilempar dari benda ini ke jalanan dan itu mengerikan.

Joon Hae menghentikan kendaraannya di bahu jalan, tak peduli apakah disana ada larangan atau tidak. Luar biasa...dia sungguh meninggalkan otaknya di suatu tempat, mungkin di kamar mandi di dekat toilet, oh jangan-jangan dia ikut membuangnya bersama sarapan paginya.

"Bisakah kau memberitahuku sebelu kau melakukan sesuatu?" kataku hampir berteriak, masih sambil memeluk sabuk pengamanku.

dia menoleh santai, "Aku hanya memenuhi keinginanmu, secepatnya. harusnya kau berterimakasih bukan?"

Kuatur nafasku, aku sudah berkata pada diriku sendiri aku tak akan bertingkah emosional

dan aku harus belajar untuk mematuhinya.

"Bicaralah." perintahnya. membuatku mendengus kesal. rasanya seperti anak kecil yang dibiarkan merengek tapi tetap tak dihiraukan.

"Aku rasa kita belum sedekat itu sampai aku harus mau menikahimu." kalimat pembuka menakjubkan bukan?

"apakah aku..."

"meskipun hanya untuk berpura-pura. " potongku sebelum dia berhasil menyelesaikan kalimatnya, "kalau kau sedang memainkan drama ala full house disini, percayalah aku lebih baik keluar dari pekerjaanku dan kembali ke rumah melakukan hal normal lain yang bisa kulakukan. aku mungkin akan kecewa dan depresi selama beberapa waktu tapi itu tak akan terjadi selamanya. tapi memilih bermain dengan rencanamu itu sungguh berbeda, aku sekarang mengerti kenapa sulit berpacaran dengan seorang artis disini. tentu saja siapa yang akan sanggup menerima serangan seperti tadi pagi setiap hari dari reporter-reporter itu? belum lagi dari fans maniak yang bahkan rela melakukan apapun agar tidak ada yang bisa mendekatimu selain mereka. hidup seperti apa yang harus kujalani? kau memilih jalan mu sendiri tapi kau tak bisa sesuka hati mengatur jalan hidup orang lain. tak semua orang mau hidup sepertimu."

"dan kau pikir hidupku seburuk itu?" nadanya mengeras, mungkin kata-kataku keterlaluan. tapi sikapnya juga keterlaluan. menikah dengannya? bahkan untuk sebuah permainan...bagiku hal itu bukan salah satunya. menikah...di negaraku lebih rumit dari serial TV dan aku tak mau sepanjang hidupku dikaitkan dengannya meskipun rencana itu tak benar-benar sampai ke pernikahan. tapi tetap saja....

Emmergency Encountered (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang