Part 34

38 1 4
                                    

Aku memasukkan barang terakhir ke dalam mobil yang hampir penuh. semua alat yang dibutuhkan untuk pengambilan gambar di Gyeongju sudah siap. Mulai hari ini hingga 3 atau 4 hari kedepan aku akan menjauh dari Seoul dan menikmati peninggalan kerajaan Silla yang membuat kota itu juga disebut museum tanpa dinding. aku jadi tak sabar, semua yang kuhadapi belakangan ini membuatku sepertinya berhak mendapatkan sedikit kesenangan.

Setelah yakin tak ada yang tertinggal, aku segera menutup bagasi mobil yang terbuka. berniat memanggil Galih untuk segera berangkat sambil menggosokkan kedua telapak tanganku bergantian karena udara yang mulai dingin, ya...musim dingin hampir tiba dan kali ini Galih tak mengajakku berburu bunga sakura di wilayah itu. Katanya, penampakan musim dinginnya lebih baik untuk film ini. Terserahlah...aku juga hanya asisten yang wajib menurut padanya.

"Kau membelikanku kopi tapi tidak untukmu sendiri. kopi bisa membuatmu lebih hangat." Ujar Galih yang entah sudah sejak kapan berdiri di belakang dan mengejutkanku saat aku berbalik.

Aku menggeleng, sedikit trauma dengan kopi sejak tragedi terakhirku yang membuatku kapok. tak ada lagi kopi dalam satu bulan ke depan atau paling tidak sampai aku tak lagi mual dengan baunya.

"aku akan mencari yang lainnya saja." Ujarku asal-asalan.

"seperti apa? pelukan?" Galih dengan senyum konyolnya melebarkan kedua tangannya bersiap menyambutku, aku hampir saja muntah melihatnya. leluconnya membuatku geli.

"Mau kuhajar?" kataku dengan gigi terkatup dan dia hanya tertawa sampai tubuhnya berguncang hebat. ya...sesukamu saja lah...

Dia menurunkan tangannya, menyesap kembali kopinya dengan tawa yang masih tersisa. "kapan kau kembali ke rumah?"

keningku berkerut, pertanyaannya penuh dengan banyak kemungkinan. "rumah?"

Galih menghela nafas, memasukkan tangannya yang kosong ke dalam saku mantelnya dan kali ini tanpa senyuman, "sudah satu bulan sejak perjanjianmu dengan kakakmu, apakah kau pura-pura lupa dan tetap bertahan disini?"

aku terkesiap, jujur...aku melupakannya. terlalu banyak yang terjadi dan hal yang sepenting itu seperti terhapus begitu saja dari memori otakku. Hingga saat Galih menyinggungnya seperti sekarang tak ada yang bisa kulakukan selain mengalihkan pandanganku ke arah lobi gedung yang lengang dan mengharapkan bisa menemukan ide untuk memecahkan masalah yang satu itu. tapi...tentu saja tak ada hal semacam itu. 

"aku  lupa." jawabku akhirnya, memandangnya dengan tersenyum berpura-pura itu bukan hal yang penting.

"dan kau masih bisa tersenyum begitu? kau tak pernah bepikir kalau kakakmu cukup nekat untuk memboyong semua keluargamu kesini dan menyelenggarakan upacara pernikahan disini kan? kau yang paling tahu kalau kakakmu itu cukup gelap mata jika menyangkut dirimu." 

Aku tahu, dia tak perlu menjelaskannya. tapi hubunganku deng Park Joon hae sungguh rumit saat ini. Aku memang menyukainya, sangat. tapi kurasa dia tak seperti itu...aku masih meragukannya dan aku tak akan pernah tahu apakah perasaannya itu tulus sampai penjahat itu tertangkap. 

"Pikirkan bersamanya, dia juga ikut bertanggung jawab dengan skenario itu." Galih bicara lagi karena aku masih diam tak bereaksi.

Kepalaku mendongak, entah ide dari mana aku mengeluarkan telepon selularku dari kantong celana dan berpikir apakah aku harus menghubungi kakakku lebih dulu sebelum dia curiga. Galih melihatku menimang benda mungil itu, mungkin sama sepertiku yang berusaha berpikir bagaimana bisa menunda kepulanganku minggu ini. Aku tak mungkin meninggalkan Korea sekarang salah satu dari banyak hal adalah karena produksi film belum selesai.

"bilang saja kau sedang sakit parah!" Usul Galih yang langsung kubalas dengan memutar mata malas. 

"itu hanya akan membuatnya melompat kemari tanpa pikir panjang." idenya sungguh klasik dan sama sekali tak bisa mengatasi apapun.

Emmergency Encountered (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang