Part 39

8 0 2
                                    

Aku bermimpi aneh, rasanya mimpi itu begitu panjang dan menyenangkan. Dia ada disana, menggenggam tanganku nyaman, menyusuri jalanan ramai saat cuaca cerah musim semi di tengah Kota Seoul. Tak ada yang memandangku aneh, dan rasanya semua orang tak peduli aku sedang menggandeng seseorang yang wajahnya begitu familiar dan populer. Langkahku begitu ringan, senyumku seperti tak mampu kuhentikan melihatnya yang sesekali menatapku dengan hal yang sama. Rasanya seperti mustahil, ini terlalu membahagiakan dan lebih mirip seperti adegan penutup di sebuah drama atau film. Aku terlalu menikmatinya, berharap waktu tak segera berakhir namun mendadak, sebuah lubang, yang entah muncul dari mana, menganga lebar  menarikku ke dalamnya dengan cepat, tak sempat berpikir bagaimana hal itu bisa terjadi. Seketika semua cahaya itu menghilang, digantikan kegelapan pekat yang membuatku hampir buta...tidak...ini bukan hanya gelap, aku kesulitan bernafas. Meronta-ronta tak terkendali,  berusaha menemukan nafasku diantara air yang semakin dalam menguburku tenggelam ke bawah. Apakah aku akan mati? Lagi? 

Aku terbangun, rasanya seperti melompat dari dunia paralel yang lain. apakah bahkan dunia semacam itu ada? yang jelas aku terlalu ketakutan hingga teriakanku memekik tanpa sadar. membuatku seketika terjaga dengan jantung berdebar hebat dan keringat dingin yang membanjiri wajahku. 

Terengah, ku raba dadaku sedikit gemetar. memastikan jika aku baik-baik saja dan aku tak bisa menyembunyikan kelegaanku saat menemukan bahwa aku masih utuh dan hidup. Hanya mimpi, tenang Karina...semua sudah berakhir, itu yang berulangkali kukatakan pada diriku. Tanpa sengaja ingatanku kembali pada saat-saat itu, dimana aku hampir yakin aku benar-benar akan mati dan meninggalkan semua orang, Kakak-kakakku, Temanku dan yang paling buruk, aku tak bisa membendung tangisku saat aku berpikir aku tak akan bisa bertemu dengan Joo Hae selamanya. dadaku terasa begitu sakit, dan itu bukan karena jantungku bermasalah. 

"Hei...kau baik-baik saja?" 

Aku mendongak, masih dengan wajah yang lengket karena tangisanku yang tak terkendali. sosok itu mulai terlihat jelas dengan mataku yang masih berat tertutup genangan air mata. Joon Hae? terkesiap, aku bukannya masih bermimpi kan? sontak kulemparkan pandangan panik ke sekelilingku, baju-baju menggantung rapi berderet, rak-rak berisi kotak-kotak dengan cetakan  merek ternama di masing-masing permukaannya tertata rapi di setiap sekatnya, dan beberapa tas sponsor yang masih bergeletakan di lantai karpetnya yang tebal. Terhenyak, Jadi aku benar-benar masih disini? di rumahnya?

Bergerak semakin gelisah, mengumpulkan kembali kesadaranku yang masih tercecer berantakan, aku berhasil bergerak menjauh sebelum tangan itu menahan niatku. Sial! bagaimana bisa aku tertidur selama itu, sekarang semua rencana ku hancur. Apa yang harus kukatakan sekarang? aku sama sekali tak siap untuk ini.

Mengeratkan genggamannya di salah satu tanganku yang mulai berkeringat, memaksaku menatap sepenuhnya ke arah wajah itu. Saat itu lah aku menyadari bahwa aku begitu merindukannya. Setelah tak bertemu dengannya selama hampir seminggu, wajah itu masih saja terlalu tampan untukku. meski sesekali melihatnya di layar televisi, tapi menatapnya langsung jelas rasanya begitu berbeda. Perasaanku masih begitu kuat pada laki-laki ini, membuatku bingung jika harus berdebat dengannya. Sebagian besar prosesnya berakhir dengan diriku yang menyerah pada pesonanya. memang siapa yang tak akan terpengaruh? dan ini masih juga bukan malam keberuntunganku.

"Kau tak bisa pergi, mereka masih berkerumun di luar sana." Suaranya tenang, berbanding terbalik dengan kepanikan yang terbentuk jelas di wajahku, begini saja aku sudah kalah darinya. 

Kutarik tanganku kasar, kesal karena dia benar. Melemparkan diri pada singa yang kelaparan jelas bukan sebuah ide yang bagus. "Kau yang melakukannya?"

Dia menatap ku tajam, tak segera menjawab pertanyaan itu. Bibirnya terkatup rapat seolah sedang menahan dirinya untuk mengatakan sesuatu yang nanti akan disesalinya. Tapi aku, yang bahkan tak tahu harus bagaimana mengendalikan sesuatu, terus menguji kesabarannya.

Emmergency Encountered (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang