Part 16

17 1 2
                                    

20 menit sebelumnya....

"Aku yakin." Ujarnya setelah pintu kamarnya tertutup. Dokumen di tangannya sudah terisi lengkap dan dia sudah yakin apa yang selanjutnya akan dilakukannya.

"Ya...aku tahu membiarkannya pergi mungkin lebih baik. tapi aku membutuhkannya...aku harus menangkap bajingan itu."

Joon Hae hampir meremas dokumen di genggamannya. "Mamanfaatkannya?" Dia mendengus. "Anggap saja begitu. temui aku sekarang juga! aku menunggumu di lobi."

*******************************

"I shouldn't ask that ridiculous thing." Kakakku tampak menyesal sudah bertanya.

Aku terdiam, Joon Hae juga menahan dirinya. Tanpa sadar dalam diam aku dan dia telah mengambil keputusan bersama untuk membiarkan kakakku menenangkan dirinya dalam kesunyian yang disengaja. Berusaha mencegah tambahan informasi apapun yang bisa memperburuk keadaan.

"I supposed it was true, i still mad at you both. You just can not have everything on your own." Suara kakakku sudah mulai normal, hampir meninggalkan kemarahannya. Tapi aku tahu emosinya bisa meledak kapan saja.

"aku tahu, ini salahku. Aku yang terlalu egois." Ucapku akhirnya, setelah terlalu lama tak sanggup bicara. Jantungku rasanya masih berlompatan antara ketakutan dan rasa bersalah. Tapi aku tak punya pilihan lain selain melanjutkan permainan ini.

"Kau memang harus begitu, kau sama sekali tak tahu rasanya berada dalam kemarahan dan ketakutan hanya karena berita di tv...aku memang menyalahkanmu." Suaranya mulai tenang, meski tak bisa menghapus kekalutan di wajahnya.

Sunyi lagi, dan aku mulai berpikir untuk memecah kecanggungan yang membuatku sesak.

"Apa kakak butuh sesuatu...aku akan..."

"Kalian bisa tinggalkan aku sendiri, sampai semua ini jelas, lebih baik tak ada lagi pembicaraan. Dan aku butuh waktu untuk mempertimbangkan apa yang harus kulakukan saat yang kuterima adalah sebuah kebohongan atau tidak..." potongnya begitu aku hampir bisa menegakkan tubuhku, rasanya begitu sedih mendengarkan penolakannya. Tak bolehkan aku mengambilkan sekedar segelas air minum untuknya? Sumpah! Dia tampak begitu menyedihkan dan tertekan. Dan akulah penyebabnya. Sekarang aku benar-benar membenci diriku sendiri.

Pasrah, kulangkahkan kakiku mendekati Joon Hae yang mengerutkan keningnya bingung,
"Kita perlu bicara."

Joo hae mendesah, tapi mengikutiku menjauh dari ruang tengahnya. Tapi begitu menginjakkan kaki di dapur aku jadi bingung...cukup amankah bicara disini, kubalikkan badanku memandang kakakku yang jaraknya hanya beberapa meter dariku. Lagipula dia tak akan mengerti yang kubicarakan bukan?

"Kau mau kita bicara disini." Joon hae akhirnya bersuara karena lambanku mengambil keputusan.

"Hmm." Gumamku acuh. Joon hae memutar matanya bosan.

"Ikut aku." Putusnya, tangannya tiba-tiba menggenggam tanganku erat dan menarikku bersamanya. Otakku sudah mati rasa, tenaga ku rasanya juga sudah terkuras habis. Tanpa kusadari, tangan itu menyisipkan kehangatan yang membuatku nyaman, membuatku merasa aku tak menghadapinya seorang diri. Oh! Baru saja kubilang otakku mati rasa kan? Kurasa mayatnya mengirim sinyal aneh itu ke seluruh organ tubuhku.

Rasanya masih setengah melayang saat aku merasa dia menutup pintu di belakang punggungku, aku baru tersadar saat Joon Hae melangkah sambil menenggalamkan kedua tangannya di saku celana jeans nya dan menatapku datar. Kupejamkan mataku berusaha mendinginkan otakku, berada sedekat ini dengannya sering membuatku kehilangan fokus.

"Kau tak seharusnya membuat Galih pergi ke tempat itu." Akhirnya, semua kata-kata yang kutahan sedari tadi keluar juga. oh baiklah....apa dia harus menyuap pegawai pemerintah juga untuk meyakinkan kebohongannya? bukankah itu berlebihan...aku ragu kakakku bahkan perlu mengecek ke tempat semacam itu. benarkan?

Emmergency Encountered (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang