Suara-suara pengumuman menggema dimana-mana. Memberikan informasi penerbangan maupun kedatangan. Bandara Incheon merupakan salah satu bandara international tersibuk di dunia. Membawa pergi dan mendatangkan beratus-ratus orang ke dalam dan luar negeri.
Hae Joo tidak ingat kapan dia terakhir kali menjejakan kaki di bandara ini. Mungkin delapan atau tujuh tahun yang lalu. Ingatannya sudah begitu samar. Meski sebenarnya itu juga tidak terlalu lama.
Seorang pria melambaikan tangan padanya saat Hae Joo keluar dengan mendorong troli kopernya. Hae Joo tersenyum dan menghampiri pria itu.
"I'm miss you so much"
"Me too, dad" Hae Joo melepaskan pelukannya.
Ayah Hae Joo tidak terlalu banyak berubah kecuali adanya beberapa kerutan di wajahnya yang sudah mulai terlihat. Dia mengambil alih troli Hae Joo dan membawanya keluar sementara Hae Joo mengekor di belakangnya.
Meski telah berlalu beberapa jam sejak kedatangannya di kota kelahirannya ini Hae Joo masih merasa jetflag. Apalagi dengan perbedaan waktu antara New York dan Seoul.
Ada banyak hal yang berubah dari kota yang dulu di kenal Hae Joo. Terutama jalanan di sekitar rumahnya. Hae Joo nyaris tidak mengenali arah rumahnya.
Tentu saja delapan tahun bukan waktu yang singkat. Hae Joo pun menyukai New York dengan segala pesonanya. Sedikit demi sedikit dia lebih terbiasa tinggal disana.
Jika bukan karena ibunya yang bekerja di New York, Hae Joo tidak akan pernah berpikir untuk tinggal disana. Separuh usianya dia habiskan tinggal di negara paman Sam.
Namun saat ini dia kembali. Pulang ke tempat kelahirannya. Mobil ayahnya memasuki halaman kecil di depan rumahnya. Dia menurunkan barang-barang Hae Joo dan menumpuknya di depan pintu.
Rumah dengan sebagian besar bermaterial kayu itu terasa tidak asing. Hae Joo senang merasa seperti itu. Setidaknya dia tahu ada tempat yang dikenalnya.
Seorang wanita menyambutnya kemudian membawakan barang-barang Hae Joo masuk.
"Dia bekerja untuk ayah. Dia akan menemanimu di rumah saat aku ke kantor." Hae Joo mengangguk dan mengikuti ayahnya masuk.
Pemandangan keluar jendela dari kamarnya cukup indah dengan pemandangan lampu kota dan juga sebuah hutan kecil. Sebuah ketukan pintu membuyarkan lamunan Hae Joo.
"Apa aku boleh masuk?" Hae Joo mengangguk sebagai jawaban.
"Kau terlihat baik-baik saja, apa kau sudah pergi ke dokter lagi?"
"Sudah ada kau disini, bagaimana aku tidak merasa baik." Hae Joo mendesah keras. "Baiklah, aku akan pergi ke dokter lagi nanti. Kau menyukai kamarmu?"
Salah satu alasan dia bersedia kembali ke Seoul adalah bahwa ayahnya tidak dalam kondisi baik. Dia tidak memiliki siapapun lagi selain Hae Joo sebagai puterinya.
Hae Joo mengangguk. Kamarnya jauh lebih luas di banding kamarnya di Manhattan sana. Di tambah dengan pemandangan yang lumayan bagus. Pemandangan yang tidak akan bisa dia dapatkan dari jendela kamarnya di Manhattan.
"Bagaimana kabar ibumu?"
"Dia baik dan bisnisnya sudah mulai membesar."
Tuan Yoon mengangguk mengerti. Dia mengelus kepala putrinya dan menyelipkan beberapa helai rambut Hae Joo ke balik telinga.
"Barusan aku mendaftarkanmu di sebuah sekolah tak jauh dari sini. Jika kau sudah siap mulai besok kau akan mulai bersekolah."
"Sekolah? Appa tidak pernah membicarakannya di telpon, kenapa tiba-tiba? Dan bagaimana sekolahku di Manhattan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[Book 1] Everlasthing
FanfictionSejujurnya aku tidak tahu apa yang kulakukan pada sebagian besar waktu selama eksistensiku. Tetapi kau memberiku satu alasan yang pasti tentang eksistensiku. Kini kutahu waktu selamanya tak akan cukup bersamamu. Even so, Lets Start With FOREVER