Chapter 3

4.6K 426 60
                                    

He kissed my lips.

Ia menciumku dengan penuh nafsu namun kedua tangannya masih kekeuh mengunci tanganku. Aku dapat merasakan bekas-bekas alkohol di mulutnya yang membuatku mual.

Aku mendorongnya dengan penuh tenaga, lalu...

PLAKKK

Satu tamparan keras mendarat di pipinya.

"Keparat kau!! Kenapa kau menciumku?!" pekikku dengan penuh amarah.

Bagaikan tersadar, matanya kembali normal dan dapat ku pastikan jika ia sedang kehabisan kata-kata. Lagi, ia memojokkan tubuhku di dinding.

"Kau--"

"Dasar bajingan. Lepaskan tanganku! Seenaknya kau menciumku. Kau terlihat seperti lelaki murahan dan--" Belum sempat aku menyelesaikan perkataan, ia memperkuat cengkramannya yang membuatku meringis.

"Jaga bicaramu atau kau akan menyesal. Dan ingat, jangan pernah menginjakkan kakimu ke wilayahku." Setelah sekian lama, akhirnya ia membebaskan tanganku dan dengan angkuhnya ia melenggang pergi.

Aku terus memerhatikan kepergiannya seraya mengutuk dirinya dalam hati.

Ia mabuk. Dan gila tentunya. Dengan seenaknya ia menciumku dan setelah itu memakiku. Dan apa katanya? Jangan menginjakkan kaki ke wilayahnya?

Cih. Aku juga tidak sudi bertemu dengannya lagi.

"Queen?" Aku terlonjak mendengar seseorang memanggil namaku.

Kepalaku menoleh ke sumber suara dan menemukan Zayn yang sedang membuka helm hitamnya.

"Siapa pria itu? Apa yang kau lakukan dengannya?" tanyanya.

Aku berjalan ke arahnya sembari mengelus tanganku yang berwarna kemerahan akibat ulah pria gila tadi, "Uh? B-bukan siapa-siapa. Dia hanya pria pemilik rumah ini." Aku sengaja berbohong karena tidak mau hal buruk terjadi. Aku tahu betul siapa Zayn dan ia pasti akan menghajar Harry habis-habisan jika tahu ulahnya barusan.

Aku mengangkat kakiku hendak naik ke jok motor, tetapi Zayn menghentikan gerakanku.

Ia mendekatkan wajahnya kemudian mendekatkan hidungnya ke mulutku lalu menghirupnya, "Apa saja yang kau minum selama disana?" tanyanya dengan tatapan intimidasi.

Sial. Ini pasti akibat ciuman Harry yang meninggalkan aroma alkohol.

"Sekaleng soda."

"Kau yakin?"

"Tentu saja. Jika kau tidak percaya, tanyakan pada Tuhan."

Zayn mengangkat sebelah alisnya dan tak lama kemudian ia memasang kembali helmnya, "Naiklah."

Menurut, aku menaiki motor besarnya yang langsung disusul oleh tanganku yang melingkar di pinggangnya. Entah kenapa amarah yang tadi membara menjadi lenyap begitu saja ketika aku memeluk Zayn. Kehangatan tubuhnya selalu berhasil membuatku nyaman seribu kali lipat.

**

"Psstt," Satu buah kertas yang dibentuk menjadi sebuah bola kecil terlempar mengenai kepalaku. Aku menoleh dan langsung menemukan orang yang melempar kertas ini.

"What?" tanyaku langsung pada Bella yang berjarak 2 kursi dari tempatku duduk.

Bella sering sekali melakukan hal seperti tadi jika Mr. Ludwig sedang mengajar. Pasalnya Mr. Ludwig adalah dosen yang sangar bahkan melebihi Michelle jika sedang memarahi Obama. Selain itu, dosen tua tersebut juga memberikan peraturan khusus untukku dan Bella. Yaitu, kami tidak boleh duduk bersebelahan karena akan mengakibatkan kerusuhan dan membuatnya kesal, begitu katanya. Cih, dia pikir aku ini Donald Trump yang selalu memancing emosi?

Empty // HARBARA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang