Chapter 10

3.6K 367 19
                                    

"Mom, istirahatlah. Kau dengar kan apa yang dikatakan dokter waktu itu? Jangan banyak bekerja," ocehanku sama sekali tidak didengar oleh Mom yang sedari tadi tak henti-hentinya mondar-mandir.

Apalagi yang ia kerjakan kalau bukan membereskan dapur?

Merasa sedikit gemas, akhirnya aku bangun dari sofa untuk menghampiri Mom dan menahan tangannya yang hendak mengambil piring kotor, "Mom, kau dengar aku tidak sih? Jangan sampai kelelahan. Urusan dapur biar Zayn yang mengurusnya. Benar kan, Zayn?"

Zayn yang sedang fokus menonton tv pun mengangguk, "Ya, benar--eh, apa? Tentu saja tidak! Itu urusan perempuan."

Aku berdecak kesal karena jawaban Zayn yang sama sekali tidak mendukungku, "Kau ini menyayangi Mom atau tidak sih? Bantu ia sesekali. Lagi pula, hari ini kau kan tidak bekerja."

"Of course i love her, kau sendiri bagaimana? Kenapa kau tidak membantunya? Kalau aku yang membantunya, bisa-bisa semua perabotan rumah bisa pecah karenaku."

"Kau lupa kalau aku ada kuliah? Dasar bodoh," cibirku dan seketika Mom melempari tatapan mautnya padaku.

"Queen, jangan berkata kasar seperti itu pada kakakmu."

Zayn yang masih duduk di sofa ruang tamu itu langsung tertawa meledek membuatku menggerutu kesal. Ah, aku lupa kalau Mom ada disini.

Meskipun sudah seminggu yang lalu Mom keluar dari rumah sakit, tetap saja aku khawatir padanya. Dokter sendiri yang mengatakan padaku kalau Mom harus betul-betul menjaga kesehatannya. Walau ia telah mengurangi jam kerjanya di restoran, tetapi ia tidak pernah berhenti melakukan apapun di rumah. Apapun yang bisa ia kerjakan, maka ia kerjakan.

"Sudah, sebaiknya kau pergi kuliah. I'm totally fine, ini hanya pekerjaan kecil saja." ujarnya seraya meletakkan piring kotor di bak cuci.

Aku menghela napas pasrah karena menyerah dengan pendiriannya yang kuat, "Baiklah. Tapi berjanjilah padaku setelah ini kau harus istirahat. Suruh saja Zayn jika kau membutuhkan sesuatu, oke?"

"Aye aye, my little girl," Mom mengulas senyum sambil mencubit ujung hidungku.

Lantas aku mengambil ranselku kemudian memeluk tubuh Mom sebelum berangkat kuliah.

**

Aku sedikit berlari kecil ketika jam tanganku menandakan pukul 10:20 . Dan itu artinya aku sudah telat 20 menit. Aku bisa mati jika dosen tua itu sudah duduk di singgasananya sedari tadi. Pasalnya, ini adalah kelas Mr. Ludwig, dosen yang sangat membenciku.

Persetan dengan bus yang sudah membuatku terlambat untuk ke sekian kalinya. Aku sudah pernah bilang bukan kalau aku lebih memilih sepeda ketimbang transportasi umum? Inilah alasannya mengapa.

Aku masih belum mendapat pengganti sepedaku yang baru, karena pria tak bertanggung jawab itu menghilang entah kemana. Jangan tanya kemana Harry pergi, karena aku sendiri tidak tahu.

Terakhir kali kami bertemu ialah ketika ia mengantarku ke rumah sakit satu minggu yang lalu. Pria itu pun tak pernah menampakkan wajahnya di kelas, dan kurasa selama seminggu ini ia membolos. Ia masih memiliki banyak hutang padaku. Seperti sepeda dan project tugas yang diberikan oleh Mr. Ludwig. Dan sialnya, aku tidak memiliki nomor ponselnya yang dapat kuhubungi.

Sepertinya, aku harus menemui Louis, si kerabat dekat Harry yang genit itu untuk meminta nomor Harry.

Kini, aku sudah berada di lantai tiga dan pemandangan lorong kampus terlihat begitu sepi. Alhasil jantungku berdegub lebih cepat karena takut mendengar amarah Mr. Ludwig.

Empty // HARBARA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang