Chapter 15

3.3K 343 91
                                    

Sinar matahari menyelinap masuk melewati sela-sela gordyn putih kamarku. Kemudian sinar itu menerpa permukaan kulit, mengharuskanku bersembunyi di balik selimut yang tak pernah lepas dari tubuhku.

Jika boleh memilih, aku lebih baik tidak melihat dunia lagi. Dan hidup akan terasa indah jika aku bersama Mom.

Tapi kenyataannya tidak.

Hari ini merupakan hari kedua hidupku tanpa Mom. Semuanya terasa sangat amat jauh berbeda. Dan luka di hatiku pun terasa sama seperti kemarin-kemarin. Terlalu dramatis memang.

Selama dua hari ini aku tak pernah menginjakkan kakiku keluar kamar. Semua urusan rumah Zayn yang mengurus. Mulai dari memasak, mencuci piring, membawakan makanan untukku, dan membereskan kekacauan rumah. Tapi, aku sedikit ragu dengan pernyataan yang terakhir.

Aku masih berada dalam suasana berduka, berbeda dengan Zayn. Ia tetap melaksanakan kewajibannya, bekerja dan menjagaku. Ia begitu tegar dan kuat, aku salut padanya. Tak pernah sekali pun aku melihat wajah murungnya belakang ini, meski aku tahu bahwa ia sama hancurnya denganku.

Tok... tok...

Tanpa disuruh masuk, orang yang mengetuk itu membuka pintunya. Itu pasti Zayn. Dan ia pasti membawakan nampan yang berisikan makanan dan segelas susu. Dan jangan lupakan dengan obat-obatan.

Aku merasakan Zayn membaringkan tubuhnya di sampingku, membuka sedikit selimut yang menutupi seluruh tubuhku, lalu memelukku dari samping.

"Kau masih belum lapar? Lihat, makananmu sampai basi," ujarnya yang tak mendapat respon apapun dariku. Karena nyatanya, aku hanya mengeluarkan beberapa patah kata selama dua hari ini.

"Dan kau masih tak berniat untuk pergi ke kampus?" Ia memainkan rambutku yang kusut dan aku tetap bungkam.

"Bella bilang padaku kalau beberapa dosen mencarimu. Mereka sudah memberi peringatan untukmu,"

"Apa kau merindukannya, Zayn?" Dan untuk pertama kalinya, aku bicara dengan kata yang cukup panjang untuk dua hari ini.

Zayn mengambil napas panjang seraya mengusap puncak kepalaku, "Tentu saja. Aku selalu memikirkannya, sepanjang waktu. Dan itu hampir membuatku gila dan putus asa. Rasanya seperti tidak nyata bukan? Aku masih merasakan kehadiran Mom, tapi aku tahu kalau itu hanya perasaanku saja."

Aku terus menyimak dan sesekali memainkan jari-jemarinya.

"Dan aku sadar, jika aku terus-terusan seperti ini, aku akan bernasib buruk. Aku akan kehilangan pekerjaan dan duniaku. And i never want it ever happen in my life." Di akhir kalimat Zayn mencium keningku kemudian bangkit dari kasur.

"Ah ya, temanmu menunggu di bawah sejak tadi. Aku akan menyuruhnya masuk, oke? Dan satu lagi, malam nanti aku akan pulang sangat larut karena harus mencari pekerjaan. Tak apa kan?"

"Yeah. Hati-hati," Dengan begitu Zayn keluar dari kamarku. Namun tak lama dari itu, seseorang mengetuk kembali pintu kamarku. Mungkin itu Bella atau Calum, karena aku tak punya teman lagi selain mereka.

"Queen?" panggilnya tetapi aku tak merubah posisiku yang memunggungi pintu kamar. Eh, kenapa suara Calum jadi berat seperti itu?

"Kau lupa kalau kita punya jadwal di Sherlock Holmes Museum?" Aku tersentak dan segera membalikkan tubuhku. Itu Harry, ya, tentu saja.

Ia berjalan mendekat ke arah kasur dan duduk di kursi meja belajar. "Apa kau masih tak mau keluar?"

Aku menggeleng dan kembali menenggelamkan tubuhku di bawah selimut hangat. Dan sekali lagi, Harry mengeluarkan suaranya.

Empty // HARBARA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang