18+ please be wise reader!
**
"Apa yang terjadi?"
Harry, pria yang masih memberikan dadanya untuk dijadikan sandaranku itu mengeluarkan suaranya.
Aku bungkam sesaat, menimbang-nimbang tentang masalah baruku. Haruskah aku memberitahunya? Ini adalah hal yang memalukan. Terlebih lagi, aku belum bisa percaya pada Harry sepenuhnya. Bukan apa-apa, kami belum terlalu dekat dan kurasa aku tak perlu memberitahunya.
Lantas aku menggeleng pelan, "Tidak ada yang terjadi. Aku hanya gelisah karena Zayn belum juga pulang."
Dan kini, nyeri di dada yang kurasakan sedikit menghilang. Entah mantra apa yang ia gunakan itu.
"Aku tak yakin dengan jawabanmu,"
Kembali berpikir. Harry menyadari ketidakbaikan-ku. Tentu saja, secara tiba-tiba aku memeluknya. Pasti ia terheran-heran saat ini.
"Harry, err-- apa kau merasa terganggu jika aku memelukmu seperti ini?" Aku melonggarkan pelukan namun Harry menahannya secara tak langsung.
"Sedikit. Dan jangan mengalihkan pembicaraan. Siapa yang datang tadi? Kau bisa bercerita padaku,"
Aku sedikit tertegun selagi Harry mengurai pelukan, menarik daguku dan memfokuskan pandangannya padaku. Tatapannya sangat dalam dan lembut. Sial, jantungku berdegub cepat dibuatnya untuk kesekian kali.
"A--aku, kurasa kau tidak i--ngin mengetahuinya. Ini sungguh memalukan. Kehidupanku sangat tragis jika diceritakan. Lebih baik aku menyimpannya sendiri."
Harry terdiam dengan pandangan yang masih terpusat di manik mataku. Ia menghembuskan napasnya pelan lalu meletakkan tangannya di kedua bahuku.
Tatapan itu... Sungguh berbeda. Aku benar-benar tidak mengerti dengannya.
"I'm here. Kau tidak sendiri. Bahkan hidupku jauh lebih menjijikan. Kau bisa berbagi beban denganku, kau tahu?"
Napasku tertahan untuk lima detik. Penat yang selama ini berada di dalam diriku seakan terbawa angin selagi Harry mengatakan hal tersebut. Begitu lega meski aku tahu Harry belum melakukan apapun untuk membantuku. Oke, bantuan pelukannya itu tentu saja mempengaruhi hilangnya rasa penat.
Aku mengatur napasku senormal mungkin, melawan reaksi tubuhku jika berhadapan dengan Harry. Ini mungkin berlebihan, tetapi semenjak munculnya perasaan aneh itu, jantungku berdetak tak normal saat berada di hadapannya.
Kepalaku tertunduk, memerhatikan kakiku yang hampir menyentuh kaki Harry. Aku tak sadar jarak kami begitu dekat. Dan belakangan ini, berada di dekatnya membuatku dapat kembali merasakan perasaan yang sempat hilang. Entah apa itu.
Dan saat itu juga bayangan Mom muncul di hadapanku. Wanita itu tengah membelai rambutku lembut, menatapku penuh perhatian. Persis seperti yang Harry lakukan saat ini. Dan suara tawa Dad yang sangat aku sukai terngiang di telingaku. Kebahagiaan itu. Sebuah keluarga kecil penuh kebahagiaan telah hilang. Menyisakan diriku dan Zayn.
Aku masih tak dapat menerima kenyataan pahit bahwa aku merupakan anak tanpa ayah dan ibu. Sejak dulu, aku membayangkan bagaimana sakitnya hidup tanpa orang tua. Dan sekarang, aku dapat merasakannya sendiri.
Air mata yang jatuh baru kusadari dan buru-buru aku menyekanya dengan punggung tangan. Mengambil napas dalam-dalam, akhirnya aku berani menatap Harry setelah terdiam cukup lama.
"Apa yang kau tangiskan?" Suaranya berat dan rendah di waktu yang bersamaan. Ia menarik pinggulku, menghilangkan jarak antara kami berdua.
Aku menggeleng dan terus begitu. Tak sanggup membalas tatapannya, air mataku kembali turun dengan cukup deras. Astaga, aku tak mengerti kenapa aku menangis? Aku tak tahu!
KAMU SEDANG MEMBACA
Empty // HARBARA [Completed]
Fanfiction[18+ BEBERAPA PART MATURE CONTENT DI PRIVATE] Berawal dari pertemuannya di sebuah pesta, Queen Malik harus terus berhadapan dengan Harry Styles. Pria dingin, penuh misteri dan tak berhati. Tuntutan tugas membuat Queen harus lebih banyak menghabiskan...