Pena 54

2.1K 38 0
                                    

"Betul-betul suatu tindakan yang amat kejam!" seru Cu Siau hong.
"Dengan raut wajah semacam ini, bukan saja aku tak dapat menancapkan kaki kembali dalam dunia persilatan, sekalipun dengan anak biniku juga malu untuk bertemu lagi," kata manusia bermuka bulu itu.
"Yaa, ucapanmu betul juga" Oh Hong cun mengangguk, "Setelah bertemu anak dengan istri, kau toh tak mungkin mengenakan selembar kain kerudung secara terus menerus."
"Setelah gagal untuk pulang, sebenarnya aku ingin mati saja, biar urusan menjadi beres, tapi akupun tak tega membiarkan mereka menderita kelaparan dan tersiksa, maka apa boleh buat lagi? Terpaksa aku harus bertahan terus sampai sekarang."
"Bila kau bertahan terus, apakah anak istrimu tak bakal kelaparan dan menderita?"
"Benar, mereka memang cukup dapat dipercaya, asal kami berjalan dengan jujur dan setia, tidak ada niat untuk berkhianat, maka anak istriku akan mendapatkan sejumlah uang belanja setiap bulannya yang cukup untuk biaya hidup mereka bahkan kehidupan mereka bisa dilewatkan dengan baik dan makmur, karena uang yang mereka terima setiap bulannya selalu seputar lima puluhan tahil perak."
"Ehmmm...inilah yang dinamakan budi dan ancaman digunakan bersama-sama, Cuma...cara mereka menggunakan orang benar-benar kelewat kejam," seru Oh Hong cun.
Selama ini Si Han hanya bersabar terus, tapi akhirnya tak sanggup untuk menahan diri lebih jauh, segera selanya:
"Saudara, sesungguhnya saat ini ayahku berada dimana?"
Manusia bermuka bulu itu tertawa getir.
"Apakah kau ingin mengetahui hal yang sesungguhnya?" dia menegur.
Si Han merasa terkesiap, sahutnya cepat:
"Tentu saja ingin mengetahui hal yang sesungguhnya."
"Ayahmu sudah mati!"
Si Han betul-betul merasa sangat emosi, hawa pembunuhan yang amat tebal pun segera menyelimuti seluruh wajahnya, sedangkan Si Ih nio sudah tak mampu lagi untuk membendung air matanya, dia menangis tersedu-sedu dengan amat sedihnya.
Sambil menghela napas panjang, manusia bermuka bulu itu berkata lagi:
"Usianya sudah begitu lanjut, penyakitan lagi, ditambah pula wataknya yang berangasan, bagaimana mungkin dia bisa menahan siksaan yang amat berat ini?"
Seharusnya aku sudah berpikir sampai kesitu.."
Kemudian setelah berhenti sejenak, sambungnya lebih jauh:
"Tadi, bukankah kau yang memberitahukan kepadaku bahwa dia orang tua masih hidup di dunia ini?"
"Yaa, memang aku yang memberitahukan kepadamu, kau harus mengerti, sebelum kulepaskan kain kerudung hitam yang menutupi wajahku, aku masih tetap setia kepada mereka, tapi sesudah kulepaskan kain cadar hitam ini, keadaan pun sama sekali berbeda."
"Maksudmu?"
"Raut wajahku yang aneh dan memalukan ini sudah diketahui orang, ini berarti aku sudah memperoleh kebebasan dari siksaan dan mengembalikan sifat kemanusiaanku, aku sudah memberikan banyak persoalan kepada kalian, apakah kaiian masih belum mengerti?"
"Jangan-jangan..." kembali Oh Hong cun berhenti berbicara.
Manusia bermuka bulu itu segera menyambung:
"Yaa, aku sudah bertekad untuk mati, sekalipun kalian tidak membunuhku, aku akan membunuh diriku sendiri"
"Aaai, sobat! Lebih baik kau membawa kami untuk berjumpa dengan orang itu, mengapa kau harus menginginkan kematian?"
"Ketika kau melepaskan kain kerudung hitamku tadi, aku telah bertekad untuk mati."
"Tapi buat apa? Sekalipun kau tak bisa merubah penyaruan yang mereka lakukan ats dirimu, toh kau bisa mengorek bulu panjang diatas wajahmu itu dengan pisau? Kalau bisa berjumpa dan berkumpul kembali dengan anak istrimu, bukankah hal ini merupakan suatu kejadian yang amat membahagiakan?"
Dengan cepat manusia bermuka bulu itu menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Tak ada gunanya, mereka tak akan melepaskan aku, bila aku tak mati, sudah pasti mereka akan menyiksa anak istriku."
Mendadak dia mengeluh kesakitan lalu muntah darah segar, tubuhnya segera terkapar kembali diatas tanah.
Dengan cepat Si Han mencengkeram tubuh manusia bermuka bulu itu sambil menegur:
"Kau tak boleh mampus dengan begitu saja.."
Namun manusia bermuka bulu itu sudah tidak menjawab lagi, sepasang matanya dipejamkan rapat-rapat dan menghembuskan napasnya yang penghabisan.
"Si lote, aku pikir dia tak nanti akan membohong," kata Oh Hong cun kemudian.
"Aku percaya kalau apa yang dikatakan adalah kata-kata yang jujur, tapi aku ingin tahu dimanakah jenazah ayahku sekarang? Bagaimanapun juga kami toh harus bersembahyang didepan layonnya sebagai pelampiasan rasa bakti kami sebagai seorang anak."
"Saudara Si aku pikir mereka tak akan menyimpan jenasah Si Locianpwe dengan begitu saja," kata Cu Siau hong.
"Sekarang, ayah sudah mati, yang paling penting buat kita sekarang adalah membalas dendam," kata Si Ih nio tiba-tiba.
"Aku mengerti" jawaban dari Si Han kedengaran amat sedih, pilu dan murung.
"Sebelum melakukan balas dendam, hal yang terpenting adalah menenangkan diri," kata Kian Hui seng pula dari samping, "Kondisi dan situasi yang kita hadapi sekarang amat berbahaya, hawa pembunuhan berada disekeliling kita, apabila kita sampai teledor bisa jadi akan menyebabkan terjadinya kematian yang mengesankan."
"Terima kasih atas petunjukmu!"
"Setelah orang ini mati, kita pun dihadapkan pada suatu kesulitan yang paling besar," kata Oh Hong cun kemudian.
"Apakah kita tak mampu untuk menemukan kembali orang-orang mereka?" tanya Cu Siau hong.
"Benar!"
"Saudara Oh, soal ini tak usah kau kuatirkan, " kata Kian Hui seng cepat, "Meskipun kita tak mampu menemukan mereka, namun mereka tak nanti akan melepaskan kita dengan begitu saja."
"Ooohh...!"
"Benar, akan datang sendiri untuk mencari kalian!", mendadak terdengar seseorang menyambung dengan suara yang dingin bagaikan es.
"Tepat sekali kedatanganmu itu, beberapa orang rekanmu telah mampus, kami memang ingin mencari seseorang untuk dijadikan sebagai petunjuk jalan."
Orang itu termenung sejenak, kemudian katanya:
"Jadi Jin Cap pwee (manusia delapan belas) telah mati?"
"Ooohh, rupanya dia bernama Jin Cap pwe," demikian Oh Hong cun berpikir.
"Benar! Sementara itu Kian Hui seng tengah menjawab, "Dia tak mau menjawab pertanyaan kami, terpaksa kamipun membunuh mereka, siapa namamu..?
"Aku Jin Cap kau (manusia Sembilan belas)"
"Jadi kalian semua she Jin?" sela Oh Hong cun.
"Soal ini tak usah kau ketahui, sebab nama seseorang tidak lebih hanya merupakan perlambang saja."
"Padahal hal inipun bukan suatu yang luar biasa," sela Cu Siau hong tiba-tiba, "Kalian tak lebih hanya membagi kelompok dengan sebuatan Thian, Tee dan Jin!"
"Sungguh mengagumkan..sungguh mengagumkan! Kau memang hebat dan pintar.."seru Jin Cap kau cepat.
"Tidak usah sungkan," tukas Oh Hong cun, "Dapatkah kau mengantar kami untuk berjumpa dengan orang yang ingin kami jumpai?"
"Dapat! Tujuan kedatanganku kemari adalah hendak mengajak kalian kesana."
"bagus sekali, kalau begitu mari kita berangkat sekarang juga!"
"Sekarangpun aku sudah merasa agak mengerti, rupanya atasan kami sudah tahu kalau Jin Cap pwee telah tewas, maka aku dikirim kemari sebagai penunjuk jalan kalian."
Cara orang ini berbicara amat ramah dan halus, sama sekali berbeda dengan nada pembicaraan Jin Cap pwee tadi.
"Sekarang kau boleh menampakkan dirimu agar kami saksikan manusia macam apakah dirimu itu?" seru Kian Hui seng.
"Aku rasa tidak perlu, tapi aku akan bertindak sebagai petunjuk jalan untuk kalian, kalian ikuti saja dibelakangku."
"Waktu yang kami miliki sangat terbatas, harap kau segera membawa kami kesitu."
"Tunggu dulu, aku masih ada beberapa patah kata yang harus disampaikan lebih dulu."
"Katakanlah!"
"Si Han dan Si Ih nio harus tetap tinggal disini dan tak boleh menempuh perjalanan bersama-sama."
"Maaf, permintaanmu itu tak bisa kukabulkan, Jin Cap kau, kau harus mengerti, kedatangan kami kemari adalah untuk berunding, bukan untuk menyerah, syarat macam apa pun dari kalian tak nanti akan kami terima."
"Kalau memang begitu, harap kalian tunggu sebentar, aku harus minta petunjuk lebih dulu."
Dari kejauhan sana tiba-tiba berkumandang suara seruan seseorang:
"Bawa mereka kemari!"
"Baik!" jawab Jin Cap kau kemudian.
Pelan-pelan dia munculkan diri dari balik kegelapan, orang itu mengenakan pakaian berwarna hitam dengan wajah mengenakan kain kerudung berwarna hitam pula."
Dandanan semacam ini memang sudah berada dalam dugaan Oh Hong cun sekalian, maka mereka sama sekali tidak terkejut atau pun merasa tercengang.
"Jin Cap pwee sudah muncul dalam dandanan yang aneh dan sekarang Jin Cap kau berasal dari kelompok "Jin" yang sama, bisa diduga kalau dandanan mereka berdua tak akan selisih terlalu banyak.
Walaupun demikian antara Jin Cap kau dan Jin Cap pwee tetap ada pula perbedaannnya, yakni Jin Cap kau mempunyai watak yang lebih ramah dan halus dalam pembicaraan.
Tampak dia menjura kepada semua orang, lalu katanya:
"Aku akan membawa jalan untuk kalian."
Berangkatlah orang-orang itu mendaki puncak bukit, diatas puncak bukit tersebut nampak sebuah rumah gubuk.
Tiba diluar rumah gubuk tersebut dengan sikap yang sangat menghormat Jin Cap kau berkata:
"Mereka datang berlima."
"Suruh mereka masuk, pasang lentera! Perintah orang yang berada didalam ruangan itu dengan suara berat."
Sekali lagi Jin Cap kau membungkukkan badan member hormat.
"Silahkan masuk saudara!"
Cahaya api berkilat, lentera telah disulut dalam ruangan tersebut.
Cu Siau hong segera berebut dimuka dan berjalan masuk kedalam ruang gubuk lebih dulu.
Dia memang sengaja menyerempet bahaya untuk berjalan dipaling depan, sebab biasanya semua ancaman selau datangnya dari arah depan.
Dalam ruangan itu duduk seorang kakek berbaju hitam yang amat lebar, sayang sekali paras mukanya tertutup dengan selapis kain cadar berwarna hitam.
Dibawah kain cadar itu tampak jenggotnya yang berwarna putih, ini membuktikan kalau usia manusia bercadar hitam ini sudah berusia lanjut.
Disisi kiri dan kanan kakek berbaju hitam itu masing-masing berdiri seorang bocah berbaju hijau.
Kedua orang bocah itu semuanya berwajah bersih dan mungil, yang sebelah kiri membawa sebilah pedang panjang, sedangkan disebelah kanannya membawa sebilah kampak kayu yang diatasnya terletak tiga buah gelang emas.
Dipandang dari luar, gubug ini tampaknya tidak terlalu besar, tapi setelah masuk kedalam ruangan, segera terasa kalau ruangan itu tidak kecil.
Dihadapan manusia berbaju hitam itu berderet lima buah kursi yang terbuat dari bambu.
Tiba-tiba kakek berbaju hitam itu berkata:
"Si Han, Si Ih nio kalian adal pengkhianat, seorang perngkhianat tak akan mendapatkan tempat duduk."
"Kami sudah memasuki rumah gubug ini, soal duduk atau tidak sama saja buat kami," jawab Si Han cepat.
Manusia berbaju hitam itu mendengus dingin, serunya lagi dengan suara menyeramkan.
"Kalian dua saudara akan memperoleh akhir nasib yang paling tragis...!"
Si Han sama sekali tidak menggubris ucapan tersebut, sinar matanya dialihkan ke wajah Oh Hong cun sambil berseru:
"Silahkan kalian duduk!"
Dalam pada itu Cu Siau hong telah memeriksa beberapa buah kursi bambu itu dengan seksama, setelah tahu kalau tiada sesuatu yang aneh dia lantas duduk lebih dulu.
Tempat duduk yang dipilihnya adalah kursi yang terakhir dekat pada dinding sebelah kanan.
Oh Hong cun pun segera duduk ditengah dikelilingi oleh Kian Hui seng disebelah kiri dan Thian Pak liat disebelah kanan.
Sedangkan dua bersaudara Si berdiri disisi Cu Siau hong.
Setelah semua orang duduk, Oh Hong cun baru berkata:
"Tolong tanya, apakah saudara memiliki nama? Apabila nama asli tak bisa diutarakan, seharusnya kau menyebutkan nama gelaranmu agar kami bisa memanggil dengan lebih leluasa."
Manusia berbaju hitam itu termenung sebentar kemudian sahutnya:
"Kalian boleh menyebutku sebagai Lak sianseng!"
"Lak sianseng?"
"Kita bukan berniat untuk mengikat tali persahabatan, buat apa mesti disebutkan secara jelas? Bukankah demikian?"
"Kalau tahu begitu, aku pun tak usah banyak bertanya lagi tentang soal ini.."
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya:
"Saudarakah yang telah mengundang kedatangan kami?"
"Apakah Lak sianseng bisa mengambil keputusan?"
"Itu mah tergantung dari persyaratan kalian, tapi kebanyakan aku bisa member keputusan."
"Bagus! Kalau begitu, Lak sianseng boleh memberikan kepada kami apa maksudmu mengundang kedatangan kami kemari."
"Apakah Si Han tidak memberitahukan kepada kalian?"
"Dia sudah mengatakan, konon kami semua telah terkena semacam racun tanpa wujud yang hebat, benarkah demikian?"
"Yaa, seratus persen benar, bahkan racun itu akan mulai kambuh besok."
"Aku orang she Oh benar-benar keheranan, kalau toh besok kita akan mati, mengapa kalian mengundang kami kemari? Apakah kalian sudah tidak tahan untuk meninggu barang sehari saja?"
"Bukannya begitu, sekalipun harus menunggu sepuluh sampai setengah bulan pun kami tetap akan sabar menunggu, hanya persoalannya sekarang, kami merasa kasihan bila banyak diantara kalian yang harus mati secara tiba-tiba."
"Waaah, kalau begitu kalian orang saleh yang berhati mulia!" ejek Oh Hong cun cepat.
"Bagaimanapun juga, yang disebut manusia tetap memiliki sifat kemanusiaan, apalagi jika beratus orang harus mati bersama-sama, oohh..sungguh peristiwa tersebut merupakan suatu kejadian yang sangat tidak menggembirakan"
"Tidak mungkin," kata Cu Siau hong, "Tiba-tiba sepanjang jalan kalian telah menyiapkan berbagai jebakan dan perangkap jahat, namun perangkap itu tak lebih hanya mengharapkan agar kami semua mampus ditangan kalian, aku jadi heran sekarang kalau toh kami semua telah keracunan, mengapa justru kalian berbelas kasihan?"
"Maksudku mengundang kedatangan kalian hanyalah ingin memberitahukan masalah ini saja, andaikata kau kurang begitu percaya, lebih baik kita tak usah berbincang lebih jauh."
"Seandainya pembicaraan kita dapat berlangsung dengan baik?"
"Bila pembicaraan kita berlangsung dengan baik, kami pun bersedia menghadiahkan obat penawar tersebut untuk membebaskan racun dalam tubuh kalian, sebaliknya bila pembicaraan tak bisa berlangsung sebagaimana mestinya, silahkan saja kalian berlalu dan setelah kuberitahukan hal tersebut, tentunya kalian pun boleh bersiap-siap untuk menghadapi kambuhnya racun mana."
"Lak sianseng, apakah tiada alas an lain?" tanya Oh Hong cun lagi,
"Tidak ada."
"Sayang sekali, lohu tidak percaya."
"Apa yang kau kehendaki baru bisa mempercayai hal ini?"
"Utarakan alasanmu yang sebenarnya?"
"Tiada alas an yang sebenarnya, diantara kita hanya ada pertukaran syarat, bila pertukaran syarat bisa dilangsungkan secara baik, kuberikan obat penawar itu, bila syaratnya kurang memadai, kalian boleh pulang untuk menyiapkan peti mati buat diri sendiri."
"Lak sianseng, silahkan kau utarakan syarat-syaratmu itu, kami harus mempertimbangkan dahulu sebelum dapat memberikan suatu jawaban yang pasti."
"Baik! Kalian harus letakkan senjata, serahkan orang-orangmu yang kuminta, kemudian pergi dari sini pulang, inilah syarat kami secara keseluruhan dan aku rasa cukup memadai serta tidak keterlaluan."
"Yaa, memang tidak kelewatan, cuma bagi kami sama sekali tiada jaminannya."
"Maksudmu?"
"Andaikata kami sudah menyerahkan senjata serta orang yang kalian minta, sebaliknya kalian tidak menyerahkan obat penawar tersebut untuk kami, bukankah kami bakal berabe?"
"Omong kosong, masa kami akan berbuat demikian?"
"Sekalipun Lak sianseng belum tentu berbuat demikian, toh kami tak dapat mempercayai dengan begitu saja, maka aku rasa lebih baik memakai caraku saja."
"Baik ! Katakanlah!"
"Kalian harus menyerahkan obat penawarnya lebih dulu, kemudian kami baru menyerahkan orangnya,"
Kontan saja manusia berbaju hitam itu tertawa dingin.
"Heeeh...heeeh...heeeh...hal ini tidak mungkin.."
"Kalau tidak mungkin, berarti pembicaraan ini pun tak bisa dilanjutkan lebih jauh, sebab kami sendiri sesungguhnya kurang percaya kalau keracunan.."
"Jangan lupa, kami pun masih mempunyai cara yang lebih hebat lagi," sambung Siau hong.
"Kalian paling banter Cuma bisa hidup sehari lagi, permainan busuk apa yang bisa digunakan lagi?" jengek kakek itu.
"Pertama, kami bisa membunuhmu lebih dulu, kedua, kami pun dapat mengungkapkan latar belakang yang dia ucapkan tersebut ke seluruh dunia persilatan."
Kakek berbaju hitam itu segera tertawa:
"Kau..."
Cu Siau hong tertawa, tukasnya:
"Bukankah kami sudah hampir mati? Bagi seseorang yang sudah hamper mati, apa pula yang harus ditakuti?"
"Benarkah kalian berani berbuat demikian, dan tidak menggubris keselamatan orang yang lain?"
"Kami tak mampu menolong mereka termasuk pula kami sendiri didalamnya, tapi kami tak akan takluk. Diantara yang keracunan termasuk pula orang yang kalian kehendaki. Hingga sekarang dia belum mengungkapkan rahasia tersebut karena dia masih mengkhawatirkan sesuatu, meski aku tidak tahu apa yang dikuatirkan, tapi aku tahu, bila rasa kuatirnya bisa dihilangkan maka semua rahasia tersebut akan dibongkar olehnya."
"Sekalipun ia dapat membongkar rahasia itu, tapi kalian toh akan mampus semua dan berita ini tak nanti bisa tersiar keluar?"
"Belum tentu, sekarang adalah saatnya Pena wasiat akan munculkan diri, orang-orang yang berdatangan kemari pun entah banyak jumlahnya bila kami menyebarkan diri, cepat atau lambat berita tersebut pasti akan tersiar juga."
"Sekarang kalian lihay karena bersembunyi dibalik kegelapan, tapi begitu rahasia kalian terbongkar, betapa besarpun kekuatan yang kalian miliki akhirnya toh akan tertumpas juga oleh kekuatan dunia persilatan."
"Kau sedang menggertak lohu?"
"Tidak, aku tidak menggertak saja, juga melancarkan serangan balasan.."
"Melancarkan serangan balasan?"
"Betul! Melancarkan serangan balasan, perhitungan kalian terlampau besar, maka kalian gunakan racun untuk mengurangi kekuatan kami, tapi tidak berharap akan meracuni mati kami semua, bukankah begitu?"
"Saudara, dalam hali ini bukan disebabkan kebaikan hati mereka," kata Kian Hui seng, "Sebab racun yang bersifat ganas selalu mempunyai bau yang tajam, sebelum kami keracunan akan terendus dahulu bau racunnya, maka mereka tak berani menggunakan, terpaksa mereka harus menggunakan racun yang enteng sifatnya, dan itulah sebabnya kami baru bisa keracunan.."
Cu Siau hong segera manggut-manggut.
"Yaa, perkataan toako memang benar!"
"Oh tua, bagaimana kalau aku turut mengucapkan beberapa patah kata?" ucap Kian Hui seng lagi.
"Silahkan, silahkan !"
"Aku bernama Kian Hui seng.."
"Sudah lama kudengar nama besarmu," tukas manusia berbaju hitam itu.
"Sudah puluhan tahun lamanya aku berkelanan dalam dunia persilatan, orang yang mengetahui tentang diriku tidak sedikit, hal ini pun aku tak usah merendah lagi."
Setelah mengelus jenggotnya dan tertawa dia menyambung lebih jauh dengan nyaring:
"Aku pun pernah diperalat kalian, tapi toh bisa segera menyadari akan kesalahanku dan kembali ke jalan yang benar. Lak sianseng, meskipun aku tidak mengetahui asal usulmu yang sebenarnya, tapi dapat kuketahui kalau kau pun senang diperalat mereka?"
Lak sianseng segera tertawa dingin.
"Kian Hui seng, apakah kau hendak mengadu domba kami?"
"Mengadu domba sih tidak berani, cuma aku ingin member nasehat yang baik untukmu."
"Kian Hui seng, aku cukup memahami apa yang hendak kau ucapkan itu dan sekarang kau pun tak usah berbicara lagi," tukas Lak sianseng dengan suara dingin.
Dengan cepat Cu Siau hong melompat bangun, kemudian serunya:
"Toako, tak usah memetik harpa dihadapan kerbau lagi, mereka hanya mengenal pedang dan kepalan."
Kemudian sambil menuding kakek berbaju hitam itu terusnya:
"Lak sianseng, aku pikir, lebih baik kita menentukan menang kalah kita dengan ilmu silat saja."
"Kau benar-benar takabur!"
"Kalian biasanya kalau bukan menyergap dengan kekerasan, sudah tentu merayu dan menipu dengan kata-kata bohong terhadap ulah kalian, boleh dibilang aku sudah cukup menghadapinya."
"Kau bermaksud menggunakan pedang? Ataukah ingin mencoba dengan kepalan saja?" seru Lak sianseng.
"terserah keinginanmu."
Pelan-pelan Lak sianseng bangkit berdiri kemudian katanya:
"Baiklah! Kalau begitu lohu ingin mencoba kepalanmu lebih dulu."
Cu Siau hong segera melepaskan pedangnya dan diletakkan diatas kursi bambu itu kemudian serunya:
"Aku akan melayani keinginanmu itu!"
Begitu maju kemuka, sebuah pukulan tinju segera diayunkan kedepan.
Dia tahu percuma kalau berbicara lebih banyak lagi, daripada bersilat lidah, lebih baik bertarung dengan kekerasan saja.
Lak sianseng segera berkelit kesamping kemudian membalikkan tangan kanannya dan mencengkeram urat nadi Cu Siau hong.
Menghadapi pukulan mana, Cu Siau hong sama sekali tidak berkelit, tangan kirinya segera disodok pula kedepan menghajar tangan kanan Lak sianseng.
Serangannya itu dilancarkan berantai dan sama sekali tidak mencoba untuk berkelit, seakan-akan setiap reaksi dari Lak sianseng selalu dihadapi pula dengan sodokan tinju.
Pertarungan semacam ini boleh dibilang aneh sekali, dengan pengalaman Oh Hong cun dan Kian Hui seng yang begitu luas pun ternyata mereka tidak berhasil menduga ilmu pukulan apakah itu.
Lak sianseng sendiri pun merasa amat terkesiap setelah secara beruntun melancarkan belasan buah pukulan berantai, kain cadar yang menutupi wajahnya segera bergoncang keras, jelas ia sedang diliputi oleh perasaan yang amat tegang.
Secara beruntun Cu Siau hong melancarkan kembali serangkaian pukulan berantai yang cepat, kekuatannya besar dan ancamannya dahsyat, pada mulanya kakek berbaju hitam itu masih sanggup untuk menghadapinya, tapi belasan gebrakan kemudian ia mulai keteter dan tak mampu untuk bertahan lebih jauh.
Lak sianseng menghembuskan napas panjang, kemudian serunya mendadak;
"Tahan!"
Cu Siau hong menarik kembali serangannya lalu bertanya:
"lak sianseng, kau masih ada petunjuk apa lagi?"
"Apakah kau bernama Cu Siau hong?"
"benar, lak sianseng, aku telah membuktikan ucapanku dengan ilmu silatku dapat membunuhmu."
Lak sianseng tertawa dingin, tukasnya:
"Lohu hanya membicarakan persoalan denganmu, tidak menerima ancaman atau gertak sambalmu itu."
"Aku hanya menerangkan tekadku saja dan berharap kau bisa memahami apa yang telah kuucapkan, selamanya dapat pula kubuktikan."
"Apa manfaat yang bisa kau raih dengan membunuh diriku?"
"Besar sekali manfaatnya, bila kau sudah mati maka akan muncul seorang yang berkedudukan jauh lebih tinggi darimu untuk menggantikan kau."
"Cu Siau hong, kau salah menduga bila berkata demikian sebab didalam kelompok kami, akulah orang yang berkedudukan paling tinggi."
"Baik! Lak sianseng dengarkan baik-baik, entah kami benar-benar sudah keracunan atau tidak, namun kami mempercayai perkataanmu itu, maka waktu yang kami miliki pun tidak banyak lagi."
"Cu Siau hong!" kata Lak sianseng dingin, "Apa yang hendak kalian lakukan? Sekali pun kalian membunuh lohu juga tak akan mampu untuk menyelamatkan berates lembar jiwa manusia itu."
Cu Siau hong tertawa.
"Lak sianseng, kami tidak bermaksud menolong diri sendiri, kami hanya ingin membunuh beberapa orang lebih banyak dari kalian.."
Paras mukanya segera berubah menjadi amat serius, sambungnya lebih jauh:
"Lak sianseng, kami tidak ambil perduli kalian mempunyai persilatan apa lagi yang jauh lebih penting, tapi tindakan yang hendak kami lakukan adalah sesudah membunuh kau, maka kami akan segera menyuruh nona tersebut untuk mengutarakan rahasia yang diketahui olehnya, kemudian sebagian besar dari anggota kami akan menyebarkan diri keempat penjuru dan menyiarkan rahasia tersebut keseluruh dunia persilatan, apa yang telah kukatakan sekarang, akan kami segera laksanakan, janganlah kau anggap sebagai gertak sambal belaka."
Lak sianseng segera mendengus dingin.
"Hmm, Oh Hong cun, Cu Siau hong masih muda dan tak tahu diri, sedangkan kau adalah pemimpin dari rombongan ini, tentunya kau tidak akan melakukan perbuatan yang tercela dan brutal seperti itu bukan?"
"Sudah kami persiapkan dan kami putuskan bersama, jadi bukan pendapat dari Cu Siau hong pribadi," seru Oh Hong cun.
Si Han menimbrung tiba-tiba:
"Lak sianseng, sekarang jenasah ayah kami disimpan dimana?"
"Kami tidak membunuh ayahmu, adalah dia sendiri yang telah bunuh diri.."
"Koko!" Si Ih nio segera berbisik, "Demi kepentingan umum, lebih baik kita tunggu sampai Cu kongcu menyelesaikan masalah besarnya lebih dulu, baru kita membicarakan soal tersebut."
"Yaa, ucapan adik memang benar."
Dalam pada itu Lak sianseng telah memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian sambil manggut-manggut katanya:
"Baiklah! Kalau toh saudara sekalian bersikeras hendak bertarung dengan Lohu, terpaksa lohu harus mengiringinya."
Dia membalikkan badan sambil bertepuk tangan, bocah yang memegang pedang tersebut segera menyodorkan pedang tersebut.
Dengan tangan kanan Lak sianseng mengambil pedang terbang tersebut kemudian mengambil gelang emas yang berada diatas baki kayu.
Golok panjang dari Kian Hui seng segera berkelebat lewat, mata golok yang tajam tahu-tahu sudah mengancam diatas pergelangan tangan Lak sianseng.
Dia termashur sebagai To kok bu seng (golok lewat tanpa suara), kecepatan goloknya benar-benar bukan omong kosong belaka.
Sambil tertawa dingin Lak sianseng segera berseru:
"Kian Hui seng, apa maksudmu dengan perbuatan ini?"
"Mari kita langsungkan suatu pertarungansecara adil dan terbuka, lebih baik jangan menggunakan senjata rahasia," kata Kian Hui seng dengan suara dingin.
"Kepandaian silat yang diandalkan seseorang berbeda yang satu dengan lainnya, panjang dan pendeknya pun berbeda, yang menjadi andalan lohu adalah ketiga batang pedang terbang ini."
"Lak sianseng kami telah member kesempatan yang amat besar kepadamu, setelah diberi hati jangan minta rempela, coba kalau keadaan tempat ini strategis, mungkin kalian sudah menggunakan kerubutan untuk mengepung kami.
Pelan-pelan Lak sianseng menarik kembali tangan kirinya dan member tanda kepada dua orang bocah itu agar mundur, kemudian pedangnya diloloskan dari dalam sarung dan menyilangkan di depan dada, katanya dengan suara dingin:
"Siapakah diantara kalian yang ingin bertarung melawan lohu?"
"Biar aku yang minta petunjukmu!" ucap Cu Siau hong.
"Saudaraku, kau harus menyerahkan babak ini untukku," sela Kian Hui seng cepat.
"Bila toako berkeinginan demikian, siaute akan menuruti perintah," sahut Cu Siau hong.
Dia lantas menarik kembali pedangnya dan mengundurkan diri ke samping.
Dengan suara dingin Lak sianseng segera menegur.
"Kian Hui seng, mengapa kau harus menerima babak pertarungan ini?"
"Sebab aku masih ingin memberi sebuah kesempatan untuk mengampuni selembar jiwamu."
"Kian Hui seng, mengapa kau tidak mengatakan demi menyelamatkan selembar jiwanya?"
Kian Hui seng segera tertawa dingin.
"Heeh...heeh..heeh...kau anggap dengan sedikit kepandaian silat yang kau miliki sudah dapat bertarung melawan dia?"
"Aku percaya dalam tiga puluh gebrakan saja dapat merenggut selembar jiwanya."
Sekali lagi KIan Hui seng tertawa dingin.
"Lak sianseng, silahkan saja kau turun tangan."
Sementara kedua orang itu berbicara, rasa curiga kembali menyelimuti perasaan Cu Siau hong, pikirnya:
"Jika kudengar dari nada pembicaraannya kedua orang itu seperti pernah saling mengenal, pada hakekatnya Kian toako sudah mengetahui siapakah dia, tapi mengapa tak mau menyebutkan keluar?"
Sementara dia masih berpikir, kedua orang itu sudah saling bertarung dengan serunya.
Tampak golok dan pedang saling menyambar, cahaya tajam berkilauan diseluruh angkasa, kedua belah pihak telah melangsungkan suatu pertarungan yang benar-benar amat sengit.
Cahaya golok dan hawa pedang menyelimuti seluruh ruangan, memaksa mereka yang berada disitu harus mengundurkan diri ke sudut-sudut ruangan.
Bayangan manusia telah tenggelam dibalik cahaya golok dan bayangan pedang, seluruh ruangan serasa dipenuhi oleh hawa pedang dan cahaya golok yang betul-betul menyilaukan mata, namun sama sekali tidak terdengar suara senjata yang saling membentur.
Semua yang hadir di arena merupakan jago-jago silat yang berilmu tinggi namun kebanyakan pada membelalakkan matanya dengan mulut melongo setelah menyaksikan peritiwa tersebut.
Pertarungan yang sedang berlangsung ini benar-benar merupakan suatu pertempuran yang jarang terjadi dalam dunia persilatan. Kebetulan sekali Oh Hong cun berdiri bersama-sama Cu Siau hong, tak tahan lagi dia lantas bertanya dengan suara lirih:
"Cu lote, pertarungan yang sedang mereka langsungkan benar-benar amat sengit!"
"Yaa, tampaknya Kian toako telah mengerahkan segenap tenaga yang dimilikinya," sahut Cu Siau hong.
"Entah siapakah Lak sianseng ini, sungguh luar biasa ilmu pedang yang dimiliki."
"Tampaknya Kian toako seperti kenal dengan dia," bisik Cu Siau hong kemudian.
"Yaa, akupun sedang mencurigai hal ini, tapi mengapa Kian Hui seng enggan membongkar rahasia identitasnya?"
"Mungkin dia masih belum begitu yakin, maka dia hendak turun tangan sendiri, kemudian dari ilmu pedangnya itu mencoba untuk menduga identitasnya."
"Aku rasa dalam dunia persilatan dewasa ini cuma beberapa orang saja yang benar-benar bisa bertarung seimbang dengan Kian Hui seng tayhiap.."

Sementara itu, situasi pertarungan di tengah arena telah terjadi perubahan besar sekarang, Kian Hui seng telah menyerang dengan sekuat tenaga, secara beruntun dia melepaskan tiga buah bacokan berantai.
Tiga buah bacokan berantai yang sangat ganas dan luar biasa hebatnya.
Lak sianseng berhasil menghindari dua bacokan pertama, namun tak berhasil menghindari bacokan ketiga, dengan cepat pedangnya dilintangkan untuk membendung serangan tersebut dengan keras lawan keras.
"Traaaaang...!" golok dan pedang segera saling membentur menimbulkan suara bentrokan yang amat nyaring.
"Apakah harus dilangsungkan lebih jauh?" jengek Kian Hui seng kemudian dingin.
Lak sianseng segera menarik kembali pedangnya dan menyahut:
"Tampaknya engkau seperti berhasil meraih sedikit kemenangan."
Maka terhadap teguran dari Kian Hui seng barusan, sebagian besar orang yang hadir dalam arena rata-rata merasa sedikit agak tercengang.
Mungkinkah didalam bentrokan kekerasan yang baru saja terjadi, Lak sianseng telah menderita kekalahan diujung tangan Kian Hui seng? Setiap orang hamper boleh dibilang diliputi oleh perasaan tanda tanya.
"Apakah kau tak mau mengaku?" kembali Kian Hui seng menegur dengan suara dingin.
"Pertarungan ini merupakan suatu pertarungan yang akan menentukan mati hidup, pertarungan baru bisa diakhiri bila salah seorang diantaranya sudah tak mampu melancarkan serangan balasan lagi."
Maksud dari ucapan itu pun amat jelas, kendatipun dia mengakui kalau sudah kalah namun enggan untuk mengakhiri pertarungan tersebut dengan begitu saja.
"Aaai...! Kian Hui seng menghela napas panjang, "Mungkin kau menginginkan suatu akhir yang diliputi oleh banjir darah?"
"Kita harus berjumpa didalam situasi dan kondisi seperti ini aku tidak tahu masih ada akhir yang bagaimana baiknya."
"kalau begitu lancarkan seranganmu! Sebelum ada yang mati, kita tak akan mengakhiri pertarungan ini."
"Hati-hatilah sedikit, aku bisa membunuhmu!" seru Lak sianseng dengan menyeramkan.
Pedangnya segera digetarkan dan sebuah tusukan kilat dilancarkan kedepan.
Ilmu pedangnya aneh bagaikan ular berbisa, tampaknya seperti mengurung golok dari Kian Hui seng tersebut, tapi dia selalu saja berusaha untuk menghindari bentrokan langsung dengan golok panjang milik lawannya ini.
Golok dan pedang saling menyambar bagaikan sambaran kilat, dalam waktu singkat Kian Hui seng dan Lak sianseng telah bertempur lagi sebanyak lima, enam puluh gebrakan.
Mendadak terdengar Kian Hui seng membentak keras, secara beruntun dia melancarkan tiga buah serangan berantai.
Tampak seluruh ruangan penuh dengan lapisan cahaya golok, hawa serangan yang tajam membuat sepasang mata orang sukar rasanya untuk dibuka.
Setelah cahaya golok sirap, pemandangan didalam ruangan telah terjadi perubahan yang besar sekali.
Lak sianseng telah tergelepar diatas tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi, batok kepalanya berpisah dari badannya dan tetap berada diatas kursi, sementara kain kerudung hitamnya juga masih menutupi raut wajahnya itu.
"Ilmu pedang yang dimilki orang ini sangat lihay" pekik Oh Hong cun kemudian, " Entah siapakah dia?"
Dia lantas maju kedepan dan bermaksud untuk membuka kain kerudung mukanya.
"Lepaskan dia!" bisik Kian Hui seng tiba-tiba.
Oh Hong cun menjadi tertegun.
"Kian tayhiap..."
"Biar kukubur jenasahnya!" tukas Kian Hui seng lagi.
"Oooh,,,!"
"Toako kenal dengannya?" bisik Cu Siau hong.
"Benar!"
..........oooooo.............

Pena Wasiat (Juen Jui Pi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang