Pena 16

2.7K 51 0
                                    

Gin-so berpaling dan memandang sekejap ke arah perempuan setengah umur lain yang masih duduk itu, bisiknya :

"Toaci, menurut pendapatmu apa yang harus kita lakukan?"

"Kalau nona segan melakukan perjalanan, apa yang musti kita lakukan?"

"Kau turunlah lebih dulu untuk menyiapkan kereta, aku akan menemani nona untuk duduk sebentar lagi."

Agaknya Gin-so masih ingin mengucapkan sesuatu, tapi ketika kata-kata itu sampai di ujung bibir segera ditelannya kembali, dengan langkah lebar dia segera berlalu dari situ, bahkan bantalannya juga dibawa serta.

"Pek-cianpwe," tiba-tiba Ciu Kim-im berbisik, "pengetahuanmu cukup luas, apakah pernah menjumpai nona ini sebelumnya?"

Pek Bwe segera menggeleng,

"Aku tidak kenal dengannya, aku pun tak pernah mendengar tentang dirinya."

"Agaknya ia sedang menunggu kedatangan seseorang?"

Pek Bwe mengangguk.

"Betul, dia berjanji dengan seseorang untuk bertemu di loteng Wong-kang-lo, sekarang ia telah datang memenuhi janji, sebaliknya yang lain tidak datang untuk menepati janjinya."

"Sudahkah Pek Loya-cu perhatikan dengan saksama, nona ini mempunyai paras muka yang cukup cantik," bisik Ciu Kim-im.

"Ehmm, kecantikannya memang mengagumkan, meski Lohu tidak memperhatikan dengan seksama, namun dalam sekilas pandangan bisa kubedakan mana batu mana kemala."

"Pek-ya, kita tetap tinggal di sini apakah lantaran nona tersebut?"

"Kalau dibilang karena dia sih tidak, Lohu cuma ingin tahu siapakah yang telah berjanji dengannya?"

Sementara itu tengah hari sudah lewat, tamu yang bersantap pun banyak yang sudah buyar, tapi masih ada belasan orang lain yang belum juga mau berlalu dari sana.

Diam-diam Pek Bwe menghitung jumlahnya, kecuali dia, Ciu Kim-im, si nona berbaju hijau, dan perempuan setengah baya itu, di atas loteng masih ada delapan orang.

Empat orang duduk berkelompok dalam satu meja, sedangkan empat orang yang lain terpisah dalam dua meja, mereka sedang berbisik-bisik membicarakan sesuatu, agaknya semuanya berkomplot.

Ciu Kim-im mencoba untuk bersabar, tapi akhirnya habis sudah kesabarannya, dengan cepat tegurnya :

"Pek-ya, agaknya kau tidak terlampau menguatirkan persoalan itu?"

"Kau maksudkan surat itu?"

"Benar! Kalau Pek-ya tidak berharap mengetahui lebih banyak tentang persoalan itu, aku ingin mohon diri lebih dahulu."

Pek Bwe segera tersenyum,

"Orang she Tiong yang ada di dunia tak terhitung jumlahnya, entah siapakah pemuda yang kau maksudkan, apa pula hubungannya dengan Lohu?"

Melihat ketenangan orang, Ciu Kim-im berpikir pula :

"Jahe tua ini betul-betul pedasnya bukan kepalang, dia begitu tenang dan pandai menguasai diri, sungguh membuat orang tak dapat menebak apakah ia sedang gelisah atau tidak?"

Berpikir demikian, katanya kemudian,

"Konon pemuda itu bernama Tiong It-ki, cuma betul atau tidak aku tak terlalu yakin karena daya ingatku kurang baik."

Pek Bwe pun manggut-manggut.

"Kalau dia bernama Tiong It-ki, memang benar ada hubungannya dengan Lohu."

"Apa hubunganmu dengannya?"

"Masih famili. Nah, Lote! Sekarang berikan surat itu kepadaku."

Ciu Kim-im kembali celingukan ke sana kemari, kemudian katanya,

Pena Wasiat (Juen Jui Pi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang