"Dimana Suri?" Calvin bertanya begitu dia keluar dari kamar mandi setelah mereka berempat selesai makan malam, dan hanya mendapati Cetta serta Chandra di ruang tengah. Chandra seperti biasa, sedang sibuk memegang ponsel. Tidak jauh beda dengan Cetta, meski Cetta melakukannya sambil membaca buku dan meletakkan ponselnya begitu saja di atas meja. Jelas, cowok itu tampak tengah menunggu pesan dari seseorang.
"Katanya mau belajar."
"Bohong banget," Calvin membalas sambil berjalan menuju dapur, dan kembali lagi ke ruang tengah dengan sebotol air mineral dingin di tangannya. Dia tidak sedang mengejek adik bungsunya, namun sejak mereka masih kecil, Suri tidak pernah menunjukkan minat pada kegiatan belajar mengajar. Gadis itu lebih suka berlarian riang di lapangan daripada berada di kelas dan mengeja alfabet di hari pertamanya masuk TK. Ayah dan Bunda tidak pernah memarahi Suri sekalipun dia memiliki beberapa nilai merah di raport saat SMP, namun bukan berarti Calvin mengabaikannya begitu saja. Dia pernah beberapa kali mengajak Suri belajar, namun selalu diakhiri dengan adegan yang selalu nyaris serupa; Suri jatuh tertidur dengan pipi menempel pada lembaran buku tulis.
"Biarin aja. Mungkin dia lagi galau."
"Galau?" Ganti kening Chandra yang berkerut sesaat setelah mendengar ucapan Cetta.
"Katanya dia kepingin pacaran."
"Nggak boleh!" Calvin langsung berseru cepat. "Suri masih kecil."
"Suri cuma beda empat tahun dari lo, kalau gue harus ngingetin,"
Ucapan Chandra sontak membuat Calvin dan Cetta berpandangan, "Jadi lo mendukung keinginan Suri buat pacaran?!" keduanya bertanya hampir serempak.
"Enggak juga, sih. Tapi gue nggak melarang Suri pacaran karena dia masih kecil. Gue oke-oke aja Suri mau pacaran, asalkan calonnya bisa mempertanggungjawabkan. Maksud gue, kalaupun nanti Suri pacaran, pacarnya harus berhasil melewati uji kelayakan yang gue berlakukan."
Calvin berdecak. "Cowok jaman sekarang tuh belangsak semua. Contohnya lo." Katanya menuding pada Chandra.
"Gue nggak belangsak, Vin. Tapi buat apa jadi cowok seksi kalau cewek cuma satu?"
"Najis," Cetta mendesis.
"Yah, tetaplah setia pada moral kalian itu, adik-adikku sayang," Chandra menyahut santai. "Tapi biarkan gue menikmati masa muda gue. Raja dangdut Rhoma Irama aja pernah bilang kalau masa muda adalah masa yang berapi-api. Pahamilah cita-cita hidup kakakmu yang ganteng ini."
"Gue baru tau kalau hidup lo punya cita-cita," Calvin mencerca.
"Tentu dong! Cita-cita gue adalah muda foya-foya, tua kaya-raya dan mati masuk surga. Jamaah bilang apa? Aamiin!"
"Berapi-api juga kalau nggak modal sama aja bohong," Cetta menyindir.
"Maksud lo apa ya, Tri?"
"Jangan panggil gue Tri!" Cetta berseru jengkel.
"Lah, kan itu emang nama lo. DimiTRIo Gilicetta."
"Jangan potong nama gue seenak udel!"
"Oh. Gue baru tau kalau udel rasanya enak."
"Monyet lo."
"Kalau Bunda masih ada, mungkin mulut lo udah jontor karena disambelin."
"Oh."
"Terusin aja perdebatan kalian deh," Calvin menatap kedua saudaranya dengan wajah lelah sebelum memutar tubuh dan berjalan menuju pintu kamarnya. "Mending gue ngerjain sesuatu yang lebih berfaedah."
KAMU SEDANG MEMBACA
NOIR
FantasyBook One - Noir [Completed] Book Two - Noir : Tale of Black and White [Completed]