"Abang nggak perlu jemput aku. Pulang kuliah, aku ada kerja kelompok bareng teman kuliahku. Nanti pulangnya mungkin agak sorean. Kalau abang sibuk, biar entar aku naik Grab aja." Suri langsung mengucapkan serangkaian kata-kata tersebut sesaat setelah Chandra menjawab panggilan teleponnya. Siang ini memang giliran Chandra untuk menjemput Suri dari kampus--setelah Ayah menetapkan jadwal pasti agar ketiga anak laki-lakinya dan Sebastian saling bergantian dalam tanggung jawab mengantar-jemput Suri dari dan ke kampus.
"Kamu nggak niat bohongin Abang, kan?"
"Kapan aku pernah bohong sama abang?"
"Pernah." Chandra membalas tegas. "Waktu itu kamu bohong sama abang-abang, bilangnya mau ada kerja kelompok sama Siena tapi malah nemuin Bocah Termos di toko es krim. Abang nggak mau ya kalau kamu sampai luka karena jatuh kayak waktu itu. Apalagi ketemu cowok gaje kayak Belalang Sembah. No way."
"Ini serius, abang."
"Kalau gitu, abang minta nomor telepon teman kerja kelompok kamu."
"Abang kok jadi over protective gini?"
"Emang dari dulu abang over protective." Chandra menyahut cepat. "Kirimin aja nomor telepon teman kerja kelompok kamu lewat WhatsApp."
Suri membuang napas pelan, meniup sejumput rambut yang jatuh di keningnya. Dia akhirnya menyerah, tau jika Chandra, secara tidak biasa, cukup pintar hari ini hingga tidak bisa dia bohongi. "Aku nggak mau pergi kerja kelompok."
"Adik abang udah jago bohong, ya." Chandra membalas dengan nada dramatis, berlagak serupa Bawang Putih yang baru saja dizalimi oleh Bawang Merah.
"Tapi beneran deh, aku punya urusan penting yang nggak bisa aku kasih tau sama abang."
"Suri."
"Beneran, Abang."
"Ini nggak ada hubungannya sama koma-komaan atau bulan mati atau kucing garong hitam atau setan-setanan, kan? Kalau sampai iya, abang melarang keras."
"Abang!"
"Ini semua demi--"
"Demi kebaikan aku? Yaelah, Abang."
"Um... iya, itu benar. Tapi lebih jauhnya, ini juga demi kelangsungan hidup abang. Kalau kamu sampai kenapa-napa lagi atau menghilang kayak waktu kita di hotel, bisa-bisa abang dikebiri dan dijadiin mumi sama Ayah, Tri dan Malika. Kamu mau kehilangan abang kamu yang tertampan ini?"
"Teralay kayaknya lebih cocok."
"Culi, jangan gitu, dong."
Suri menghela napas panjang. "Aku mau ketemu Nadine."
"Oh, cewek yang semua bajunya segelap kulit Apin itu?"
"Abang!"
"Sori. Mau apa kamu sama si Bintang Iklan Capuccino?"
Suri memutar otak berusaha mencari alasan. Soalnya, jika dia jujur pada Chandra tentang penyebab mengapa dia merasa perlu menemui Nadine, Chandra jelas tidak akan setuju. Lebih buruknya, Chandra bisa jadi memberitahu Cetta, Calvin, Ayah hingga Sebastian. Kalau mereka sampai tau, bisa dipastikan Suri akan jadi tahanan rumah untuk beberapa hari ke depan. Jeda sejenak, hingga bola lampu imajiner dalam kepala Suri menyala tiba-tiba. "Sergio naksir Nadine. Aku udah janji bakal bantu Sergio, jadi ini salah satu strategi aku cari info tentang Nadine biar Sergio lebih gampang deketin dia."
"Hah?"
"Kok reaksi abang kayak gitu?"
"Nggak apa-apa. Abang kasian aja ama itu Bocah Termos."
KAMU SEDANG MEMBACA
NOIR
FantasyBook One - Noir [Completed] Book Two - Noir : Tale of Black and White [Completed]