Sebuah sore lainnya yang tidak biasa kembali menjemput di kediaman keluarga Suri. Ketiga kakak laki-laki Suri berada di rumah, sesuatu yang jarang sekali terjadi mengingat ketiganya punya kesibukan masing-masing yang membuat mereka tidak sering berada di rumah pada waktu yang bersamaan. Chandra sendiri memilih untuk tetap tinggal di rumah, tidak pergi dugem atau sekedar hang out bersama teman-teman dunia malam seperjuangannya seperti biasa karena punya firasat akan ada sesuatu yang terjadi setelah obrolannya dengan Sebastian di grup chat keluarga mereka—minus Ayah dan Suri tentunya. Calvin pulang lebih cepat karena sempat terserang diare mendadak akibat salah makan siang tadi—yang anehnya langsung membaik begitu dia menenggak larutan oralit hasil ramuan tangan Ayah. Cetta tidak ada kelas dan tengah jenuh meladeni semua tawaran endorsement mau pun photoshoot yang dialamatkan padanya.
Tiga bersaudara itu terlihat mesra di ruang keluarga. Calvin lagi-lagi masih menyetel siaran episode lama serial Ultraman yang dikumpulkannya dari berbagai sumber, sementara Chandra iseng menggambar Spongebob yang matanya besar sebelah di atas kardus bekas kemasan astor. Hampir mirip seperti kedua kakaknya, Cetta disibukkan oleh aktivitasnya sendiri (yang ternyata tidak jauh-jauh dari persoalan chatting bersama Rana atau meminta Brandon menunda sejenak deretan jadwal photoshoot untuk endorsement barang online shopnya barang sehari dua hari).
"Ada angin apa, nih?"
Kepala ketiga cowok itu kompak tertoleh pada arah yang sama begitu mereka mendengar suara Ayah. Tampaknya beliau baru saja selesai berkebun di taman belakang. Sepasang tangan Ayah menyisakan jejak basah bekas terbasuh air. Topi pet yang sering dipakainya setiap kali bekerja diantara tanaman masih nangkring di kepalanya.
"Apanya?"
"Tumben banget kalian seakur ini."
"Hanoman sama Sugriwa lagi nemenin Pangeran Rama ngegambar Spongebob." Chandra menyahut asal, membuat Ayah melipat tangan di dada sambil bersandar ke tembok.
"Mau sampai kapan kamu bikin julukan aneh-aneh buat adik-adikmu?"
"Sampai Malika jadi putih."
"Nyet." Calvin merutuk seraya menendang punggung Chandra keras-keras, membuatnya terbatuk seolah baru saja ditusuk golok tepat di ulu hati.
"Anjir ya lo, Kedelai Hitam. Sudah dibesarkan seperti anak sendiri, lo ini masih hobi aja kurang ajar sama gue! Mana nendangnya keras banget! Kalau jantung gue copot gimana?"
"Mati." Calvin memiringkan kepalanya, lalu menepuk-nepuk perutnya yang baru mulai baikan. "Terus dikubur."
"Goblok."
"Barachandra," Ayah berujar dengan nada memperingatkan. "Language."
"Dih, Ayah nggak adil! Tadi Malika ngatain aku 'monyet' tapi Ayah diem aja!" Chandra bersungut-sungut.
"Nggak usah sok manyun gitu, Chan. Ngeliatnya gue malah pengen nabok." Cetta menyela dengan pandangan masih tetap terpaku pada layar ponselnya. "Kita bukannya lagi akur, Yah. Kita cuma lagi sama-sama menunggu Badai Katrina datang aja."
Salah satu alis Ayah terangkat. "Badai Katrina?"
Seakan menjawab pertanyaan Ayah, pada detik berikutnya pintu depan rumah mereka didorong terbuka dengan kasar. Keempat laki-laki anak-beranak itu saling berpandangan, dan kompak menatap kaku pada satu arah ketika Suri masuk ke ruang keluarga dengan bibir mengerucut serta pipi yang sembab. Sebelah tangannya menenteng bungkusan gelas plastik yang sudah berembun. Hanya dengan sekali lihat, Cetta langung tahu jika isi bungkusan gelas plastik itu adalah hidangan es serut favorit Suri. Suri sangat menyukainya lebih dari gadis itu menyukai susu cokelat dingin atau es kiko, jadi sangat aneh jika wajah Suri sekarang justru kelihatan bete.
KAMU SEDANG MEMBACA
NOIR
FantasyBook One - Noir [Completed] Book Two - Noir : Tale of Black and White [Completed]