Semula, Sebastian berniat untuk mandi air hangat dan menyantap dua iris pizza keju untuk makan malam segera setelah dia tiba di rumah. Namun, begitu masuk ke ruang keluarga dan mendapati Sergio tengah menatap kosong pada stik konsol game di tangannya, rencana laki-laki itu langsung berubah. Pundaknya masih dirambati oleh lelah setelah duduk di depan komputer hampir seharian, namun bukan Sebastian namanya jika tega melihat Sergio berdiam diri seperti itu. Ini baru lewat seminggu. Peristiwa buruk yang terjadi sepekan lalu pasti adalah penyebab mengapa Sergio terlihat murung selama beberapa hari belakangan. Kedua orang tua mereka terlalu sibuk mengurusi kepentingan perusahaan keluarga, hingga tidak sadar jika cowok sembilan belas tahun itu masih butuh dukungan moral.
"Gio, lo udah makan malam?"
Sergio tersentak, lalu mengerjapkan matanya berapa kali. "Kak Bas? Udah pulang?"
"Udah daritadi." Sebastian menjawab sambil melepas jaketnya, menyampirkannya begitu saja pada sandaran sofa ruang keluarga rumah mereka yang besar—dan terasa sangat kosong, karena hanya ada mereka berdua di dalamnya.
"Belum."
"Makan bareng, yuk?"
Sergio nyengir. "Lo yang yang traktir?"
Refleks, Sebastian mendengus. "Dasar oportunis."
"Yah, kan lo udah kerja, kak."
"Kerja jadi budak korporat maksudnya?"
"Salah sendiri," Sergio mencibir. "Lo nggak pernah nurut apa kata Papi sama Mami. Disuruh kuliah ekonomi atau bisnis, malah pilih informatika. Nikmati aja hasilnya sekarang."
"Laki-laki sejati itu berjuang, Gio. Bukan menadah jerih payah orang tua." Sebastian membuka satu kancing teratas kemejanya. "Tapi nggak apa-apa, gue yang traktir. Jadi maunya kemana?"
"Pizza?"
"Perfect," Sebastian cepat menanggapi. Sejak siang tadi, dia memang sudah benar-benar ingin makan pizza.
"Mau delivery atau cabut?"
Jika menuruti keinginan Sebastian, tentu lelaki itu bakal lebih memilih duduk bersantai di rumah sembari menunggu pesanan pizza kejunya datang. Tetapi tentu itu tidak akan berpengaruh banyak terhadap mood Sergio. "Cabut aja. Kayaknya lo butuh refreshing."
"Oke."
"Yaudah, gue mandi dulu. Sebagai gantinya, karena gue sudah jadi penanggung dana dalam acara makan malam kita hari ini, lo yang nyetir."
"SIM gue belum keluar." Sergio menyahut enggan. Ini sudah menjelang akhir pekan. Menyetir di Jakarta pada jam-jam sibuk dimana jalan kerap dipadati oleh mereka yang akan pergi hangout di pusat keramaian seperti mall sama saja dengan bunuh diri. Perutnya boleh saja kenyang makan pizza gratis, tapi kaki Sergio sudah pasti akan memiliki satu otot tambahan begitu mereka pulang nanti.
"Bagus," Sebastian terkekeh. "Kalau kayak gitu, lo bisa berusaha nyetir dengan sangat hati-hati biar nggak kena tilang."
Sergio mengeluarkan satu makian kasar dalam bisikan ke udara. Tidak cukup keras untuk bisa didengar Sebastian, karena cowok itu telah lebih dulu melenggang pergi menuju kamar tidurnya. Kadang, Sergio tidak mengerti bagaimana bisa orang-orang menilai Sebastian sebagai pangeran es dengan sikap dingin yang bukan hanya membekukan, namun juga membikin gemas. Mereka tidak pernah tahu kalau di balik wajahnya yang macam warga eskimo, tersimpan tingkah laku konyol dan kecenderungan untuk berbuat semena-mena—meski tidak bisa dipungkiri kalau Sebastian sering sekali menunjukkan rasa peduli yang besar pada adik semata wayangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NOIR
FantasyBook One - Noir [Completed] Book Two - Noir : Tale of Black and White [Completed]