"Tadi di sekolah Suri ada insiden."
Suri langsung berhenti menyendok sup dari mangkuknya ketika tiba-tiba dia mendengar Calvin bicara. Malam ini, mereka makan bersama. Bukan karena Cetta mendadak ikhlas menghabiskan lebih dari sepuluh menit di dekat Chandra. Bukan juga karena mendadak Chandra mampu bertindak sebagai kakak tertua yang baik dengan mengajak ketiganya makan bersama. Melainkan karena Ayah mereka pulang tadi sore. Seperti kebanyakan anak-anak pada umumnya, Suri dan ketiga abangnya langsung kompak melakukan pencitraan begitu Ayah tiba di rumah. Mereka berlagak seperti anak baik yang tidak punya dosa, padahal hobi melakukan tindakan-tindakan bejat tidak terduga. Karenanya, Suri sama sekali tidak siap ketika tiba-tiba Calvin memunculkan isu tentang peristiwa di halaman sekolah tadi di hadapan Ayah.
"Insiden?" Ayah balik bertanya dengan alis terangkat.
"Aku juga baru tahu, tuh. Insiden apa?" Chandra bicara setelah memasukkan sesuap penuh nasi dan kuah sup ke dalam mulut. Tindakannya membuat Cetta yang duduk tepat di sebelahnya bergidik jijik.
"Jorok banget sih lo, Chan! Muncrat ke piring gue, elah."
"Halah, lo aja yang nggak tau kalau pas masih kecil dulu gue sering ngeludahin bubur lo."
"Chandra," Ayah memperingatkan, membuat Chandra langsung meringis. Cetta sendiri mendengus, kelihatan dongkol tapi tak bicara lagi. Matanya justru tertuju pada Suri.
"Insiden apa? Kok kamu nggak cerita ke abang?"
"Lupain aja. Udah lewat." Suri membalas, enggan mengungkit kejadian itu. Setiap kali mengingatnya, bayangan tentang pilar yang retak dan hampir runtuh sepenuhnya membuat bulu kuduk Suri berdiri. Dia hampir mati. Jika saja Khansa tidak menariknya tepat waktu, mungkin besok Suri sudah terbenam enam kaki di bawah tanah. Meski sering berhubungan dengan jiwa-jiwa yang telah mati, Suri tidak pernah membayangkan akan seperti apa dirinya jika waktunya kelak tiba.
"Suri hampir ketabrak mobil."
Dengan kompak, Ayah dan kedua kakak Suri yang lain menghentikan gerakan mereka. Ketiganya tampak terkejut sekaligus khawatir. Cetta bahkan mungkin sudah akan bangkit dari kursinya untuk memeriksa keadaan Suri.
"What the hell?! Suri, kamu luka?"
"Aku baik-baik aja, abang."
"Serius?"
Suri menghela napas, menyipitkan mata pada Calvin. "Abang ngapain pakai cerita-cerita segala sih?! Aku kan udah nggak apa-apa!"
"Kamu emang nggak kenapa-napa, thanks to Khansa yang sudah menarik kamu dari sana tepat waktu. Coba kalau nggak?" Calvin menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. "Abang nggak bisa bayangin kalau adik kesayangan abang kenapa-napa."
"Khansa siapa?"
"Pacarnya Abang Calvin." Suri menyela iseng, berharap celetukan tak bertanggung jawabnya mampu mengalihkan perhatian.
"Bukan pacar." Calvin menyela cepat, tapi lantas dia menyambung. "Hehe, calon maksudnya. Doain aja."
"Hah?! Jadi waktu lo bilang jatuh cinta, lo serius?!" Chandra melotot. "Khansa. Namanya boleh juga. Cakep nggak tuh?"
"Abang, inget udah ada Siena!" Suri langsung menyambar.
Chandra nyengir. "Jadi kamu udah merestui abang sama Siena? Siena seumuran kamu kan ya? Hm, gampanglah. Nanti tunggu dia lulus kuliah dulu. Eh, apa abis lulus SMA aja langsung abang lamar?"
Suri menghantamkan pantat gelas minumnya ke meja makan. "Abang, aku tahu abang gila, tapi jangan bikin Siena ikutan gila."
"Kamu sendiri tadi yang ngingetin abang sama Siena."
KAMU SEDANG MEMBACA
NOIR
FantasyBook One - Noir [Completed] Book Two - Noir : Tale of Black and White [Completed]