lima belas

197K 19.4K 2.2K
                                    

Bertahun-tahun sudah berlalu sejak terakhir kali Jia Dawala mengantar-jemput anak-anaknya ke sekolah. Sebastian adalah anak yang mandiri, bahkan sejak kecil. Cowok itu sudah menolak dijemput oleh orang tuanya saat naik ke kelas dua Sekolah Dasar, dengan alasan dia lebih suka berjalan kaki dan naik angkutan umum bersama teman-temannya. Sergio mungkin lebih manja dari Sebastian, tapi hampir sama seperti kakaknya, cowok itu juga menolak diantar-jemput setelah dia masuk SMP. Sergio berkata, dia tidak ingin menarik perhatian banyak orang karena mobil mewah orang tuanya yang memang tidak dimiliki setiap kalangan. Meski sempat berdebat, akhirnya Jia pun mengerti.

Sebenarnya, Jia juga tidak berencana menjemput Suri. Ketika menelepon gadis itu di jam istirahat makan siangnya, Jia hanya bertanya tentang bagaimana Suri akan sampai ke rumahnya. Gadis itu bilang dia akan menggunakan taksi. Ketiga kakak laki-lakinya sedang bergelut dengan kesibukan masing-masing, tetapi mereka tidak pernah mengizinkan Suri menggunakan alat transportasi massal seperti Transjakarta atau metro mini. Jia menawarkan diri menjemput Suri, dan walau sempat ragu, Suri akhirnya menyambut tawaran ini.

Kini, duduk di belakang kemudi sembari mengamati halaman sekolah yang mulai ramai pasca berbunyinya bel pulang membuat Jia menyadari seberapa besar dia merindukan masa itu. Masa-masa ketika perannya sebagai seorang ibu masih utuh. Ketika anak-anaknya beranjak dewasa dan mandiri, dengan sendirinya peran seorang ibu akan terus-menerus berkurang, hingga kemudian satu-satunya yang bisa seorang ibu lakukan adalah menunggu kunjungan anak-anaknya di akhir pekan. Atau lebih parah, hanya dalam beberapa kali dalam setahun.

Sebastian tentu tidak akan mengerti perasaan seorang ibu. Karena itu, dia masih saja menganggap sifat Jia yang mudah luluh pada Suri sebagai sesuatu yang sulit dimengerti. Jia sendiri tidak paham kenapa putra sulungnya tampak begitu tidak suka pada Suri.

Perhatian Jia teralih ketika matanya menangkap sosok Suri yang berjalan bersama seorang gadis berambut panjang. Mereka mengobrol sebentar, kemudian saling melambai sebelum berpisah. Detik berikutnya, Suri tampak bingung mengedarkan pandangannya menyapu seantero halaman sekolah. Kebingungannya berubah jadi senyum senang tatkala Jia menurunkan kaca jendela mobil, lantas melambaikan tangan pada Suri. Tidak butuh waktu lama buat gadis itu untuk mencapai mobilnya dan membuka pintu passenger seat.

"Tante udah lama nungguin?"

"Nggak, kok. Baru sebentar." Jia balik tersenyum hingga mata sipitnya tampak seperti lengkung bulan sabit. "Kalau dipikir-pikir, kayaknya nggak enak lebih enak kalau kamu manggil tante pakai sebutan 'Mami'. Mulai sekarang, panggil 'Mami' aja, ya?"

Suri kelihatan ragu. "Beneran nggak apa-apa?"

"Memangnya kenapa? Kamu kan hampir sepantaran sama Gio."

"Takutnya tante keberatan."

"Loh, kok manggilnya masih tante lagi?" Jia menatap Suri dengan pandangan keibuan yang kental. "Nggak apa-apa. Panggil 'Mami' aja, oke?"

"Hng... oke, Mi."

"Nah, begitu kan bagus. Anak manis," Jia berujar lagi, kali ini sembari menyentuh helai rambut panjang Suri sebelum membantunya memasang sabuk pengaman. Suri dibuat terdiam oleh tindakannya. Bukan karena Suri tidak suka. Bukan pula karena dia baru pertama kali mendapatkan perhatian seperti itu. Memasangkan sabuk pengaman atau menyelimutinya saat dia ketiduran di dalam mobil adalah sesuatu yang lazim dilakukan oleh ketiga kakaknya, juga Ayah. Namun sudah lama sekali sejak terakhir kali Bunda yang melakukannya. Setelah divonis sakit oleh dokter, Bunda lebih banyak berdiam di rumah. Beliau kerap mengisi waktu senggangnya dengan merajut.

"Kok ngelamun, Suri? Pelajaran di sekolah susah, ya?"

"Hm, lumayan, Mi. Soalnya tahun ini aku UN."

NOIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang