sembilan

210K 23.6K 3.4K
                                    

Hari Sabtu adalah hari favorit Sebastian diantara semua hari yang ada.

Alasannya tentu sederhana, karena hari Sabtu adalah salah satu dari sedikit hari dimana Sebastian bisa tidur sampai siang. Setelah semua rentetan kesialan yang menimpanya kemarin lusa hingga dia hampir saja bermalam di kantor polisi—dan jangan ingatkan tentang bagaimana Sebastian harus berjuang memangku Sergio di pahanya yang rasanya lebih buruk daripada penyiksaan jaman Edo—akhirnya hidup Sebastian kembali normal.

Jarum jam tengah menunjuk pada angka delapan pagi ketika suara Sergio yang berpamitan pergi ke toko buku membangunkan Sebastian. Hanya sesaat, karena pada menit berikutnya Sebastian memilih kembali menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Dia punya waktu seharian untuk berselancar di alam mimpi. Bersama kasur empuk, pendingin ruangan dan bantal bulu angsanya yang mahal, Sebastian menciptakan surga kecilnya sendiri. Cowok itu memeluk guling kian erat sambil bergelung di bawah selimut. Matanya memejam, dan kegelapan alam tak sadar siap menelannya bulat-bulat. Dia sudah pasti akan lelap kembali dalam tidur kalau saja suara berisik dari bel yang ditekan bertubi-tubi tidak mendadak terdengar.

Ting-nong! Ting-nong! Ting-nong!

Sebastian menghembuskan udara kuat-kuat dari mulutnya.

"Spadaaaaaa? Ada orang di rumaaaaah?"

Sebastian menutup kedua telinganya rapat-rapat dengan bantal, berharap bisa membuat dirinya sendiri tuli sesaat. Namun, usahanya sia-sia belaka. Suara bel yang dipijit terus-menerus itu masih saja terdengar, malah serasa lebih keras daripada sebelumnya.

Ting-nong! Ting-nong! Ting-nong!

"Spaaadaaaa? Buenos diaasssss? Good morning? Bonjour? Anyeong haseo? Nihaoooo?"

Sebastian menyerah. Cowok itu menendang selimutnya menjauh, lantas melempar bantalnya ke sembarang arah sebelum beranjak dari atas kasur. Dengan wajah super bete, dia berjalan menuju pintu depan, langsung berdecak keras kala matanya mengenali sosok yang kini berada di ambang pintu depan. Walaupun penampilan Suri jauh berbeda daripada yang terakhir Sebastian ingat. Gadis itu menyisir rambut dengan rapi, menghiasi helai mayangnya dengan bando berwarna merah muda. Dia jelas mengenakan pewarna bibir yang senada dengan aksesoris rambutnya. Ada aroma yang merupakan campuran dari parfum buah-buahan dan bedak bayi setiap kali gadis itu bergerak.

"Anyeong!" Suri berseru, tak lupa tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang putih.

"Anying." Sebastian mendesis. "Darimana lo tahu rumah gue? Dan ada urusan apa lo datang kesini?"

"Bukan begitu caranya menerima tamu."

"Hah?"

"Bunda selalu bilang ke aku kalau tamu itu adalah raja. Ketika rumah kedatangan tamu, yang pertama harus dilakukan itu menyapanya, terus disuruh masuk. Abis itu ditanya mau minum apa. Kalau tamunya minta es sirup dingin yang disuguhin dulu es sirup dingin. Sama kalau bisa pakai kue-kue kering juga. Abis itu baru ditanya baik-baik keperluan mereka bertemu tuh apa."

"Gue nggak lagi open house dan ini bukan hari lebaran."

"Emang yang bilang hari ini hari lebaran siapa?" Suri memiringkan wajah, membuatnya jadi terlihat imut. Terutama karena bando berwarna merah muda yang diikat serupa pita di atas helai rambutnya yang hitam. "kalau hari ini hari raya lebaran, aku nggak akan ada disini, oke? Aku bakal sibuk rebutan ketupat dan opor ayam sama abang-abang."

"Nggak ada orang di rumah."

"Ada. Kamu."

Sebastian berdecak, menahan diri agar tidak berteriak frustrasi. "Maksud gue, selain gue nggak ada siapa-siapa."

NOIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang