tujuh

248K 24.7K 4.3K
                                    

Suasana canggung yang kentara menyelimuti ruangan tamu rumah Suri. Sergio dan Sebastian masih membisu, meski terlihat jelas bagaimana keduanya berusaha berkomunikasi melalui pandangan mata. Chandra sibuk membaca situasi, sementara baik Calvin maupun Cetta menatap tajam pada kakak-beradik Dawala serupa detektif tengah meneliti buronan kasus pembunuhan berantai. Suri? Tidak perlu ditanya. Gadis itu masih saja menatap pada Sebastian seolah pria tinggi berwajah dingin itu adalah pusat dunianya yang baru. Tidak jauh berbeda dengan Wati yang melayang di sisi Cetta, tampak menikmati rumah yang mendadak disesaki oleh makhluk-makhluk rupawan.

Suasana agak mencair saat Chandra berdehem. "Jadi lo kakaknya bocah ini?"

Sebastian sigap menanggapi. "Benar. Nama saya Sebastian Dawala."

"Santai aja, bos. Ini bukan ruang interview pelamar kerja, oke?" Chandra mengerutkan dahi mendengar gaya bicara Sebastian yang menurutnya aneh. Aneh karena digunakan oleh orang serupa Sebastian. Setiap mendengar rentetan kalimat baku yang begitu resmi sejenis itu, yang berada di bayangan Chandra adalah motivator setengah baya atau pengisi acara seminar berkacamata tebal yang membosankan. Bukan lelaki muda dengan wajah serupa model koleksi terbaru mantel Burberry. "Siapa nama lo tadi?"

"Sebastian."

"Aduh, panjangnya. Lidah gue bisa keseleo. Gue singkat aja ya? Gimana kalau gue panggil Abas aja?" Chandra terkekeh. "Nama gue Barachandra. Biasa dipanggil Chandra. Atau DJ Bara."

"DJ... Bara?" Sebastian justru tampak bingung, membuat Sergio hampir menepuk dahinya keras-keras. Sergio tahu benar kalau Sebastian adalah pribadi yang sangat old-fashioned. Di luar penampilannya dan kelihaiannya mengutak-atik komputer, Sebastian serupa jiwa kakek-kakek era 60-an yang terjebak dalam tubuh manusia kelahiran abad ke-20.

"Lo nggak tau DJ Bara?" Chandra melotot, seakan-akan Sebastian baru saja menistakan nama Tuhan di depannya.

Tanpa dosa, Sebastian menggelengkan kepalanya.

"Waduh, tong, ajarin deh kakak lo ini biar gaul sedikit," Chandra berpaling pada Sergio yang sontak menegakkan punggung. "Hei, lo denger nggak apa kata gue?"

"Siap, kak!" Sergio menyahut sigap bak tentara yang baru saja diberi perintah oleh komandannya.

"Kalau boleh tahu," Sebastian menyela, tidak suka melihat adiknya diperlakukan semena-mena oleh tiga cowok yang menurut Sebastian kemungkinan besar jauh lebih muda darinya. "adik saya punya salah apa, ya?"

"Jadi begini, Bas,"

"Halah, kelamaan kalau lo yang ngomong!" Cetta memotong, tampak sudah tidak bisa memaksa diri untuk tetap diam. Matanya jatuh pada Sergio yang langsung gelagapan. "Ceritain semuanya ke kakak lo!"

"Oke, kak!" balas Sergio, masih saja dengan begitu sigapnya hingga mata Sebastian menyipit memandangnya. Sergio bukan anak nakal yang hobi memberontak saat masih menjadi siswa sekolah menengah, namun dia jelas bukan anak penurut yang mudah dikendalikan. Melihatnya bersikap seperti sekarang membuat Sebastian hampir mengira kalau adiknya sudah mengalami cuci otak. "Jadi gini, Kak, aku sama Suri—"

"Biar aku yang jelasin," Suri menyela, lalu tanpa menunggu respon dari orang-orang di sekelilingnya, gadis itu meneruskan. "Aku sama Sergio ada urusan. Ada perlu, yang nggak mesti kalian semua tahu. Intinya itu bukan masalah pacaran seperti yang abang duga. Aku nggak naksir Sergio. Sergio juga nggak naksir aku. Kami berdua murni baru ketemu tadi sore. Harusnya nggak akan terjadi apa-apa kalau aja kita nggak ketemu sama sekumpulan bocah jelek itu. Mereka langsung tahu kalau aku anak SMA Rajawali dari seragamku, dimana dari dulu emang SMA Rajawali dan SMA 44 udah musuhan dan hobi tawaran tiap bulan kayak jadwal menstruasi. Sergio nggak bisa berantem gagah kayak bintang sinetron di TV, jadi dia ngajak aku lari. Pas lari, aku jatuh. Sisanya, sudah abang-abang tahu sendiri. Sergio nggak salah apa-apa."

NOIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang