Kening Suri langsung berlipat begitu dia turun dari mobil, dan ketiga kakaknya mengikuti. Bukan, dia bukan sedang merasa heran karena Chandra, Calvin dan Cetta yang ikut turun bersamanya, melainkan karena masing-masing dari mereka tampak membawa sebuket bunga yang entah mereka siapkan sejak kapan. Otomatis, langkah kaki Suri langsung terhenti, membuat ketiga kakaknya ikut berhenti berjalan dan balik menatapnya penuh tanya.
"Kenapa?" Chandra bertanya.
"Kenapa kalian pada bawa bunga?"
"Suri, adikku sayang, ketika perang, kita butuh strategi dan amunisi. Strateginya adalah kehadiran abang-abangmu yang tampan ini. Amunisinya adalah," Chandra mengangkat bunganya ke depan wajah, membuat beberapa siswi yang sejak tadi memperhatikan mereka langsung dibuat mabuk kepayang olehnya. "bunga ini."
"Guru matematikaku tuh udah tua, tau! Jangan samakan dia dengan abg labil yang bisa langsung tepar cuma karena dikasih bunga. Salah-salah, malah kalian bisa kena semprot omelannya."
"Suri, Suri, dengerin abang," Chandra menyahut lagi dengan nada sok lembut berlagak penuh perhatian. "Tua atau muda, guru kamu itu tetap wanita. Dan nggak ada wanita yang nggak lemah kalau sudah dikasih bunga."
"Tapi, bang—"
"Percaya sama abang. Kamu sendiri sudah tahu kan gimana rekor abang menaklukan hati kaum hawa?"
Serempak, Suri, Calvin dan Cetta memasang wajah ingin muntah.
"Terserah abang aja." Suri mendengus sebelum melanjutkan lagi geraknya yang sempat terhenti diiringi hentakan kaki. Benar seperti dugaannya, begitu mereka berjalan melewati pintu masuk sekolah, mata mayoritas siswa putri langsung dibuat terbelalak hingga ke bukaan maksimal. Beberapa memekik, memanggil nama Cetta dan Chandra dengan jerit tertahan. Beberapa yang lain menatap penuh kagum pada Calvin, terutama mereka yang termasuk kalangan siswi pintar berkacamata. Kontan, Suri dibuat muak karenanya.
"Kalian tuh," Suri berbalik tiba-tiba sejenak sebelum mereka tiba di muka pintu ruang guru. "Mau negosiasi sama guru matematikaku atau mau fashion show di sekolah, sih?"
"Kenapa? Abang kan nggak ngapa-ngapain," Cetta menyahut dengan dahi berlipat.
"Abang juga nggak ngapa-ngapain," Chandra dan Calvin turut menimpali hampir serempak.
Suri memutar bola matanya. "Duh. Masalahnya, kalian tuh mau nggak ngapa-ngapain juga kelihatannya kayak lagi ngapa-ngapain!"
"Harusnya kamu bangga dong, Culi, kamu punya abang yang unyu kayak kita-kita," Chandra berujar, membuat Suri membuang napas keras-keras dari mulut, meniup sejumput rambut yang jatuh di dahinya. Seandainya saja semuanya semudah itu. Kalau saja dia adalah remaja puteri normal dengan teman segudang dan pacar tampan, pasti dia sudah akan dipuja oleh siswa seisi sekolah. Namun masalahnya, dia tercipta sebagai Oriana Suri Laksita—si gadis aneh yang sering kedapatan mengobrol dengan makhluk tak terlihat. Boro-boro punya pacar tampan, jumlah temannya saja bisa dihitung pakai jari! Siapa sih yang mau berteman dengan bocah berkakak galak dengan kemampuan melihat hantu?
"Bu Asturo adalah di dalam. Meja paling kiri urutan ketiga. Hari ini dia sudah pasti datang pagi karena kelas 12 IPA 3 ada pelajaran matematika jam tujuh lewat lima belas menit nanti. Jangan bertingkah lebay, oke? Jantungnya Bu Asturo udah lemah, soalnya doi udah tua."
"Sip,"Calvin mengacungkan jempolnya, sebelum kemudian membungkuk untuk berbisik keras pada Suri. "Jangan khawatir. Kamu pasti bisa ikut ulangan susulan minggu-minggu ini!"
"Oke."
Terdiam disana dengan pandangan setengah khawatir setengah penuh harap, Suri menyaksikan ketiga abangnya masuk satu-persatu, kemudian tertelan pintu yang tertutup. Dia berniat berdoa, dan mungkin sudah tenggelam dalam kesyahduan hubungan antara dirinya dengan sang pencipta kalau saja sebuah lengkingan tidak mengganggunya. Merasa doanya terinterupsi dengan sangat tidak sopan, Suri membuka kedua matanya hanya untuk menoleh penuh geram pada sosok yang kini berada di sebelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NOIR
FantasyBook One - Noir [Completed] Book Two - Noir : Tale of Black and White [Completed]