Nadine meletakkan hairdryernya ke atas meja rias sesaat setelah dia selesai mengeringkan rambut. Lantas gadis itu menarik laci meja yang sama dan mengeluarkan sejumlah produk makeup seperti liquid foundation dalam bentuk cushion dan beberapa tube pewarna bibir. Setengah diantaranya adalah lipstik, dan sisanya adalah lipgloss. Nadine mengernyit, mengamati deretan warna-warna dalam tube pewarna bibir tersebut sebelum memilih salah satu warna yang paling jarang dia pakai. Bukan karena dia tak suka, tapi warna-warna semacam itu tak cocok buatnya digunakan untuk aktivitas sehari-hari—meski Jake selalu bilang kalau Nadine terlihat cantik dengan warna apa saja.
"Jadi dia mendapat keistimewaan itu hari ini?"
Nadine menatap Jake yang kini melayang di tepi kasurnya dengan pandangan geli lewat pantulan di cermin. "Maksud kamu?"
"Bocah Sergio itu. Kamu memilih warna peach karena kamu mau pergi sama dia hari ini. Iya, kan?"
"Kemungkinan iya. Kemungkinan nggak."
"Nadine,"
"Come on, Jake. Jangan cemburu begitu. Aku sama Sergio nggak ada apa-apa. Kita cuma bakal jalan dan makan bareng. Itu aja. It's an innocent dinner."
"Dia jelas suka sama kamu."
"Dan kamu cemburu?"
"Sebagai makhluk beda alam dari kamu, apa aku boleh cemburu?"
"Berbeda alam bukan berarti kamu nggak boleh punya perasaan." Nadine berhenti bicara sejenak untuk meratakan sapuan pewarna bibir di bibirnya dengan jari. "Dan kamu itu temanku. Satu-satunya teman yang aku punya dari dulu sampai sekarang. Jadi jangan cemburu begitu."
"Oh ya? Gimana dengan anak itu?"
"Sergio cuma... well, manggil dia teman kayaknya terlalu awal."
"Bukan Sergio. Anak itu. Siapa namanya? Suri, kan?"
Gerakan tangan Nadine langsung terhenti saat dia mendengar nama Suri. Lalu gadis itu menghela napas dan menyelipkan sejumput rambutnya yang baru dicat warna ginger ke belakang telinga. Saat berkonsentrasi pada pantulan wajahnya di cermin sekarang, Nadine menyadari betapa kontras penampilannya dengan setelan hitam, rambut yang dicat warna mencolok dan bibir berlapiskan warna peach. Terang bertemu gelap. Vibrant bertemu kelam. Gelap dan terang. Seperti sebuah keseimbangan.
"Suri?"
"Iya, Suri. Bukannya kamu setertarik itu sama dia sampai-sampai kamu mendekati temannya hingga kakak laki-laki dan pacarnya?"
"Apa yang kulakukan pada Khansa hari itu bukan karena aku punya maksud lain mendekati Suri. Begitu juga soal kakak laki-lakinya dan pacarnya yang berwajah dingin itu." Nadine berkilah. "Aku cuma..."
"Cuma apa, Nadine?"
"Cuma ingin berteman dengannya."
"Benar-benar sesuatu yang bukan kamu." Jake memiringkan wajah. "Kamu nggak pernah punya teman dari kecil, kecuali aku. Dan kamu nggak terlihat bermasalah dengan itu. Bakal aneh banget kalau sekarang tiba-tiba kamu kepingin berteman sama orang yang awalnya cuma kamu dengar namanya lewat bisik-bisik para hantu."
"Dia jelas bukan cewek biasa."
"Emang ada cewek biasa yang bisa membuat salah satu iblis paling utama bersedia membongkar penyamarannya selama hampir satu millennium sekaligus membuatnya jadi bodoh banget sekarang?"
"Jake, jangan gitu."
"Kamu nggak tau apa yang lagi diomongin sama para hantu sekarang. Noir berkali-kali menemui Suri dan nolongin dia ketika dia diganggu oleh hantu-hantu akibat ulah Blanc. Bodoh banget. Kalau aku jadi dia, aku jelas tau pola berulang ini cuma tes untuk melihat apa Noir bakal selalu dateng setiap kali Suri butuh pertolongan."
KAMU SEDANG MEMBACA
NOIR
FantasyBook One - Noir [Completed] Book Two - Noir : Tale of Black and White [Completed]