EXTRA - DONGENG

75.3K 7.1K 1.8K
                                    

Biasanya, sebelum pergi tidur, Bunda akan mendongeng untuk keempat anaknya. Tetapi hari ini berbeda, karena Ayah yang akan bercerita. Chandra yang baru duduk di kelas tiga SD langsung bersemangat begitu mendengarnya. Dia bahkan sudah mengajak ketiga adiknya—Calvin yang baru berusia enam tahun, Cetta yang belum lagi menginjak empat tahun dan Suri yang baru merayakan ulang tahunnya yang kedua tiga bulan lalu—untuk pergi tidur tepat setelah selesai makan malam. Ketiga adiknya tentu tidak setuju, karena itu sama saja melewatkan dessert time yang biasanya berlaku satu setengah jam setelah makan malam—waktu dimana Bunda akan mengeluarkan penganan manis berupa biskuit, kue atau puding yang dibuatnya hari itu.

Sebagai anak paling tua sekaligus pemegang suara minoritas, akhirnya Chandra harus bersabar hingga waktu menunjukkan hampir pukul sembilan malam.

"Ayah, ceritanya harus panjang, ya." Chandra berceloteh sesaat setelah dia selesai menyikat gigi, sementara Ayah membantu Calvin, Cetta dan Suri membasuh kaki-kaki mungil mereka masing-masing. Walau tidak pergi keluar rumah, Ayah dan Bunda selalu membiasakan mereka untuk mencuci kaki dan menggosok gigi sebelum pergi tidur. Chandra dan Calvin yang lebih besar sudah bisa menyikat gigi sendiri, sedangkan Cetta dan Suri masih butuh bantuan.

"Panjang?"

"Iya. Panjang. Kalau bisa enggak tamat-tamat."

"Kalau enggak tamat-tamat, nanti kalian enggak tidur-tidur dong."

"Enggak apa-apa!" Calvin menukas dengan mulut penuh busa pasta gigi. "Biar begadang kayak lagu itu tuh, lagu yang dulu suka diputar Opa." Bocah itu menyambung lagi, menyebut lagu dari Rhoma Irama yang memang sering diputar oleh kakek mereka setiap kali mereka bertandang ke rumah beliau di akhir tahun.

"Enggak boleh begadang." Cetta membalas cepat. "Nanti jadi jelek kayak hantu."

"Kalau kamu sih emang udah jelek." Chandra mengejek, kemudian menjulurkan lidah, membuat Cetta langsung mengangkat tangannya ke udara, seperti ingin memukul. Meski begitu, wajahnya terlihat sangat memelas, seperti dia bisa menangis sewaktu-waktu. "Idih, mau nangis ya? Huuuu... cengeng!"

"Ayah!" Cetta memekik dengan mata berkaca-kaca. "Abang nakal!"

"Abang Chandra enggak boleh gitu." Ayah menengahi. "Abang Cetta benar. Begadang itu enggak bagus, apalagi besok kamu sama Abang Calvin harus sekolah. Kalau begadang nanti dimarahin Ibu Guru di kelas."

"Yah, kalau gitu begadangnya nanti aja, pas besoknya enggak sekolah."

"Enggak boleh!" Cetta tetap ngotot. "Nanti jadi jelek kayak hantu!"

"Ih, Culi pucing deh!" Suri merengut. "Ayah, bantu Culi aja sikat giginya. Abang enggak usah. Abang nakal."

Kompak, ketiga kakak laki-laki Suri langsung berseru. "Abang enggak nakal!"

"Sudah-sudah, jangan berantem. Kalau kalian berantem terus, Ayah enggak jadi cerita, nih."

Seperti dikomando, anak-anak Ayah kontan terdiam.

Mereka sempat berdebat lagi, yang kembali Ayah lerai. Bunda menyaksikan semuanya dari ambang pintu kamar mandi, menatap anak-anak dan suaminya dengan tatapan geli yang penuh kasih. Setelah melalui perjuangan panjang yang membuat Ayah harus rela bagian depan kausnya basah terkena cipratan air karena anak-anaknya yang tidak bisa diam, acara cuci-mencuci dan menyikat gigi tersebut akhirnya selesai. Bunda membantu Ayah dengan menidurkan anak-anaknya di empat ranjang yang terpisah oleh meja lampu sementara Ayah berganti pakaian.

"Bunda, tadi katanya Ayah yang mau cerita." Chandra sempat protes ketika Bunda masuk ke kamar mereka dan mengarahkan mereka untuk berbaring sebelum menarik selimut hingga menutupi tubuh keempatnya sampai sebatas perut.

NOIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang