Saat Suri dan Sebastian tiba di rumah sakit, semua orang tengah berada di ruang tunggu. Suri memang mendengar kalau Papa Khansa mengalami kecelaaan dan sangat lazim melihat mereka yang datang menunggu di depan ruang Instalasi Gawat Darurat, tetapi buat Suri, ekspresi mereka semua terlihat tidak wajar. Alih-alih panik atau kalut, ekspresi yang mewarnai wajah sebagian besar orang lebih mirip ekspresi bingung penuh spekulasi. Mudah bagi Suri menebak jika ada sesuatu yang terjadi sebelum dia dan Sebastian tiba disana.
"Papanya Kak Khansa gimana, Yah?" Suri bertanya dengan suara pelan, berpikir Ayah adalah orang yang paling tepat ditanyai karena Chandra dan Calvin terlihat tenggelam dalam pikiran mereka sendiri.
"Ayah nggak tau, Culi." Ayah menjawab sama lirihnya. "Tapi tadi ada sesuatu yang aneh terjadi."
"Apa?"
Ayah melirik Sebastian lebih dulu sebelum menjelaskan. "Tadi Papanya Khansa sudah dinyatakan meninggal oleh dokter dan paramedik yang bertugas. Kalau Ayah nggak salah lihat, dokter juga sudah mencatat waktu kematiannya. Tetapi mendadak, Papanya Khansa bangun lagi. Ayah tahu manusia bukan pihak yang berwenang dalam memastikan hidup dan mati orang lain... tapi itu aneh. Kamu mengerti maksud Ayah?"
Suri mengangguk. "Terus sekarang Papanya Kak Khansa gimana?"
"Masih di dalam. Dokter bilang mereka perlu memeriksa kondisi vitalnya sekaligus memastikan keadaannya."
Keterangan Ayah kembali membuat Suri mengangguk. Gadis itu lantas memilih diam dan duduk manis di kursi ruang tunggu. Matanya beberapa kali mengekori suster berseragam putih yang lalu-lalang. Terkadang, ada bangkar lain yang didorong cepat lewat di depan mereka mereka diiringi aba-aba prosedur medis yang tidak Suri mengerti. Rasanya tidak nyaman, terutama karena bau antiseptik dan obat yang mewarnai udara. Tapi memangnya apa yang bisa diharapkan dari suasana sebuah rumah sakit?
Sejujurnya, Suri benci rumah sakit. Tempat itu selalu berhubungan dengan sudut kenangan yang tidak mau dia ingat. Sebagian besar berkaitan dengan Bunda, karena hari-hari terakhir perempuan itu banyak dihabiskan di rumah sakit sebelum dia benar-benar pergi. Suri tahu Bunda baik-baik saja di atas sana, namun tentu, dia tidak pernah bisa melihat rumah sakit dengan cara yang sama lagi setelah sekian banyak peristiwa menyedihkan yang terjadi sebelum Bunda berpulang.
Kelihatannya, Sebastian mengerti itu karena diam-diam tangannya meraih jari-jari Suri ke dalam genggamannya. Sebastian melakukannya dengan cara yang tidak kentara, sehingga kedua kakak laki-laki Suri hampir tidak menyadarinya—dan yah, mereka juga kelihatan sibuk dengan urusan masing-masing. Chandra tidak berhenti melirik pada Siena dengan ekspresi muram, sementara fokus Calvin sepenuhnya berada pada Khansa. Dari semua orang yang berada disana, mungkin hanya Ayah yang menyadarinya. Beliau tidak tampak tak suka. Malah, Ayah justru diam-diam menarik seulas senyum tipis.
Sekitar dua puluh menit kemudian, pintu ruangan terbuka lagi diikuti kemunculan dokter berjas putih dengan sarung tangan latex yang masih dipenuhi oleh noda darah.
KAMU SEDANG MEMBACA
NOIR
FantasyBook One - Noir [Completed] Book Two - Noir : Tale of Black and White [Completed]