tiga puluh dua

142K 17.7K 2.6K
                                    

Makan malam ini mungkin adalah salah satu dari makan malam paling canggung yang pernah Sebastian alami. Bagaimana tidak? Sejak detik pertama duduk di meja makan hingga sekarang, cowok itu tidak mampu berkonsentrasi sama sekali pada hidangan yang terhampar di meja makan. Peristiwa sore tadi masih membekas dalam ingatannya, tidak pernah gagal membuat wajahnya diselimuti oleh semu setiap kali matanya tak sengaja memandang ke arah Suri.

Tampaknya, Suri juga merasa tidak jauh berbeda. Gadis itu sibuk melegakan tenggorokannya dengan deheman, sempat membuat Mami khawatir kalau-kalau Suri butuh permen pereda tenggorokan atau memanggil dokter. Suri bergerak super hati-hati, kelihatan berusaha keras untuk tidak memandang pada Sebastian walau sesungguhnya dia penasaran dengan reaksi laki-laki itu atas apa yang telah dilihatnya di kamar mandi.

"Kalian kenapa, sih?" Lima belas menit berlalu dan Jia tidak lagi kuasa menahan rasa tidak nyaman yang mengambang di udara. Perempuan setengah baya itu berhenti menyendok makanannya. Matanya yang sipit menatap tegas secara bergantian pada Suri dan Sebastian, sementara Sergio hanya menonton seraya memakan habis butir-butir kacang polong di mangkuk.

"Kenapa apanya, Mam?" Sebastian bertanya pura-pura tidak mengerti.

"Jangan kayak kura-kura dalam perahu." Jia berdecak. "Kalian berdua makan seperti robot. Kaku banget. Ada apa? Enggak ada sesuatu yang terjadi di kamar mandi tadi sore, kan?"

Kali ini, bukan hanya Suri dan Sebastian yang dibuat terkejut, melainkan juga Sergio. Cowok itu sampai tersedak kacang polongnya. Untung tangannya gesit meraih gelas air mineral yang tergeletak di atas meja. Jika tidak, mungkin besok-besok Sergio bisa saja muncul di halaman terdepan surat kabar pagi hari sebagai korban tewas akibat tersedak butiran kacang polong.

"Kamar mandi?!" Sergio memekik dengan mata melotot.

"Gio, ini nggak seperti yang kamu pikirkan," Sebastian menyela cepat. "Aku nggak sengaja masuk waktu Suri lagi mandi, Mam. Dia berendam di bathtub. I swear, aku nggak melihat apapun lagi selain—" seakan merasa baru saja salah bicara, ucapan Sebastian terhenti secara tiba-tiba.

"Selain?" Alis Jia terangkat menunggu Sebastian meneruskan kata-katanya yang terputus.

"Nevermind."

"Suri," Jia berpaling pada Suri yang kini tertunduk malu sambil menusuk makanan di piringnya dengan tatapan. "Sebastian melakukan apa sama kamu?"

"Mami, kenapa Mami ngomong seakan-akan aku itu orang mesum yang hobi grepe-grepe cewek, sih?!" Sebastian berseru tidak terima. "I swear, aku cuma melihat lehernya. Udah, itu aja."

"Sebastian Dawala, Mami nggak ngomong sama kamu. Sekarang Suri, jawab Mami. Sebastian nggak melakukan apa-apa sama kamu, kan?"

"I told you Mam, I did nothing! I swear!"

"Haduh, sekali lagi kamu ngomong dengan nada tinggi seperti itu, malam ini Mami bakal suruh kamu tidur di kebun belakang."

Sebastian menelan ludahnya. "Tapi, Mam—"

"Mami nggak ngomong sama kamu," Mami berdecak lagi. "Suri, kamu bisa ngomong sama Mami. Sebastian berbuat apa sama kamu?"

"Hng," Suri terlihat setengah bingung setengah malu. "Sebenarnya Tian nggak ngapa-ngapain sih, Mi."

"See?"

"Mami belum selesai bicara sama Suri, Bas."

Sebastian harus mati-matian menahan diri supaya tidak memutar bola mata di depan ibunya.

"Tapi aku lagi berendam di bathtub waktu Tian masuk. Mami tau kan kalau aku tuh lagi mandi, bukan lagi ngiklan sabun atau shampoo. Jadi otomatis aku nggak pakai baju. Waktu aku lagi berendam, airnya nggak menutup tubuh atas aku, Mi. Terus—"

NOIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang