Ada sesuatu yang spesial dalam foto keluarga yang terpajang di ruang tengah rumah Keluarga Suri. Buat sebagian besar orang, mungkin foto itu hanya foto keluarga biasa, dengan wajah Ayah, Bunda dan empat anak mereka. Tapi tidak buat Ayah. Selain karena Bunda terlihat sangat cantik dalam foto itu, juga karena Chandra dan ketiga adiknya masih kecil ketika foto itu diambil. Rasanya menyenangkan bisa melihat bagaimana sesuatu dapat membekukan waktu. Setidaknya dalam foto itu, senyum Chandra akan selalu terhenti di usia sepuluh tahun. Calvin baru berumur delapan tahun, begitu pula dengan Cetta yang berusia enam tahun dan Suri yang masih terlihat seperti bocah empat tahun berkuncir dua dengan mulut yang cerewet.
Ayah tidak tau apakah anak-anaknya sadar atau tidak, tapi setiap pagi, setiap kali melewati foto itu, Ayah selalu berhenti dan memandangnya setidaknya lima menit.
Ada banyak kenangan yang terbangkitkan hanya dengan melihat foto tersebut, salah satunya yang paling Ayah ingat adalah respon pertama ketiga kakak Suri waktu Suri baru lahir.
Sejak jauh-jauh hari sebelum Suri dibawa pulang ke rumah, Ayah sudah memberitahu ketiga anaknya kalau mereka akan kedatangan adik kecil baru yang kelak harus mereka lindungi. Sebagai tiga bersaudara yang sama-sama laki-laki, kehadiran adik perempuan tentu menjadi sesuatu yang membuat Chandra, Calvin dan Cetta kelewat antusias. Awalnya, Bunda sempat khawatir membiarkan tiga anaknya yang tidak bisa diam berdekatan dengan Suri yang masih bayi. Tapi Ayah menenangkannya, berkata jika tiga abang bisa diandalkan.
Dugaan Ayah salah, sebab tiga abang justru memulai perang saudara tidak lama setelah Suri tiba di rumah keluarga mereka.
Hari itu masih pagi. Chandra menolak pergi ke sekolah karena ingin bertemu adik baru—yang lantas dikabulkan oleh Ayah karena toh Chandra baru kelas satu. Bunda masih tertidur di kamarnya saat Ayah membawa Suri dalam strollernya ke halaman belakang untuk mendapatkan siraman cahaya matahari. Semula, Ayah masih mengawasi. Tetapi ketika bel pintu rumah mereka berdering karena ada tamu yang datang, Ayah beranjak pergi. Sebelum berlalu, Ayah sempat menitipkan pesan pada ketiga anaknya.
"Jaga adik kecil baik-baik, oke?"
Dengan kompak, Chandra, Calvin dan Cetta mengacungkan jempol.
"Adik bayi jarinya kecil banget." Chandra berkomentar. "Lebih imut dari jari Apin."
"Imutan jali Abang Apin!" Calvin ngotot.
"Imutan jari adik bayi!" Chandra bersikeras. "Ah, Abang mau cium pipi adik bayi." Katanya lagi, lalu dia mencondongkan tubuh dan mendaratkan satu kecupan lembut di pipi Suri.
"Abang Apin juga mau cium!"
"Cetta juga!"
"Aduh, jangan dorong-dorong abang dong!" Chandra mengeluh pada tingkah-laku dua adiknya, tapi tentu saja, Calvin dan Cetta terlalu sibuk berebut mencium pipi Suri. Mereka mengabaikan kata-kata Chandra.
"Adik bayi wangi banget, enggak kayak Abang Candla!" Calvin berujar.
"Iya!" Cetta manggut-manggut.
"Biarin, yang penting Abang yang cium adik bayi duluan."
"Bialin, yang penting Abang Apin yang cium adik bayi lebih banyak!"
"Cetta yang lebih banyak!"
"Abang Apin!"
"Cetta!"
"Abang Chandra dong!"
"Awas, Abang Apin mau cium adik bayi!"
"Enggak boleh!" Cetta melotot.
"Urgh... jangan dorong-dorong, dong! Kalian enggak boleh dorong-dorong, nanti kalau adik bayi jatuh gimana?!"
Seperti yang sudah bisa ditebak, Calvin dan Cetta tidak mendengarkan ucapan Chandra sama sekali hingga kata-kata bocah itu benar-benar terbukti. Hanya saja, yang jatuh bukannya Suri, melainkan Cetta. Karena terdorong oleh Calvin, Cetta jatuh terduduk di tanah berumput halaman belakang. Tangisnya kontan pecah, merobek keheningan pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
NOIR
FantasyBook One - Noir [Completed] Book Two - Noir : Tale of Black and White [Completed]