Sore itu, setelah Cetta pulang dari Lombok, ketiganya langsung menggelar rapat paripurna di kamar Cetta. Kenapa kamar Cetta? Karena kamar Cetta adalah kamar paling rapi diantara kamar mereka bertiga. Kalau kata Chandra, mereka sudah cukup membuang waktu menyaksikan bagaimana noraknya Cetta melepas Rana melanjutkan perjalanan ke rumahnya dari bandara. Tadinya, Cetta berniat mengantar Rana lebih dulu, namun Rana memaksa Cetta mengambil pilihan yang lebih logis sebab jarak rumah Cetta yang lebih dekat dari bandara dibanding rumah Rana. Berani sumpah, bagi Calvin, adegan lima belas menit pelepasan Cetta dan Rana adalah adegan paling menjijikkan yang pernah dia lihat selain adegan Jack memeluk Rose di buritan kapal Titanic yang sudah tenggelam itu.
Anehnya, tadi sore, Cetta tidak terlihat malu sama sekali melakukan tindakan yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa fauna, tidak akan jauh beda dengan kelakuan kucing yang saling merayu sebelum kawin.
"Beneran nggak apa-apa aku yang pulang duluan?"
Cetta bertanya lagi saat dia baru turun dari taksi, sementara supir setengah baya yang mengemudikan mereka dari bandara. By the way, Calvin dan Chandra batal menjemput karena katanya Ayah mau ikut. Buat Cetta, mending dia menumpang mobil losbak pengangkut sayur sekalian daripada dijemput limosin yang disupiri oleh Ayah. Ayah memang tidak berniat tebar pesona, tapi kehadiran laki-laki itu tak pernah gagal membuat kharisma Cetta meredup.
"Dimi, cuma orang tolol yang bakal bolak-balik malam-malam begini hanya karena alasan sentimental—with a premium cab, if I have to add. Rumahku juga nggak jauh-jauh amat dari sini."
"Tapi kamu kan masih mual-mual. Kalau kamu muntah gimana?"
Telinga Chandra dan Calvin spontan langsung berdiri macam ekor kucing yang baru diinjak begitu mendengar kata-kata ambigu Cetta.
"Ada kantung plastik yang kamu beliin setelah keliling dari satu warung ke warung waktu kita masih di Gili."
Cetta cemberut, terlihat seperti anak TK yang merajuk karena tidak diizinkan membeli cotton candy oleh ibunya. "Kamu harus telepon aku begitu sampe di rumah. Janji?"
Akhirnya, setelah lelah memasang resting bitch facenya yang terkesan dingin, Rana melepaskan gelak kecil. "Kok kamu jadi super clingy gini, sih?"
"Soalnya udah biasa bobo sama kamu terus." Cetta melirik jengah pada Chandra dan Calvin yang kini sibuk memasang ekspresi wajah layaknya orang yang mau muntah. "Terus nanti malam sebelahan kamar sama dua kutu busuk ini. Huf."
"Aku balik duluan, deh ya. Nanti aku telepon." Rana menyempatkan diri berjalan keluar dari taksi, kemudian mendekati Cetta. Jari-jari gadis itu menyentuh garis rahang Cetta sejenak, lalu dia berjinjit dan memberikan ciuman kecil. "Sampein salam aku buat Ayah."
Cetta menggeleng. "Nggak mau."
"See you tomorrow, Dimi."
Dengan berat hati, Cetta memaksa diri untuk tetap diam tatkala Rana kembali masuk ke taksi dan taksi itu memutar arah sebelum kembali berlalu untuk bergabung dengan kendaraan-kendaraan lain di jalan raya. Merasa jika adegan yang terjadi di depannya sudah lebih parah dari adegan sinetron paling norak mana pun yang bisa Calvin ingat, cowok itu kontan menarik bagian belakang kerah baju Cetta sementara Chandra memonopoli koper-kopernya. Beruntung Ayah kelihatan sedang sibuk di dapur bersama Suri—untuk membuat smoothies atau salad bowl atau apa pun itu—sehingga beliau tidak punya waktu mengomeli tingkah laku anak-anak laki-lakinya yang tidak jauh beda dengan kelakuan anak SD.
KAMU SEDANG MEMBACA
NOIR
FantasyBook One - Noir [Completed] Book Two - Noir : Tale of Black and White [Completed]