"Gadis itu sudah kelewat batas," Newt langsung berujar sesaat setelah dia memasuki restoran, matanya menatap pada Nael yang duduk di sudut ruangan. Nael hanya mengedikkan bahu, duduk diam masih dalam balutan pakaian serba hitamnya. Sepasang matanya yang serupa obsidian menatap pada lalu-lalang manusia di sekeliling mereka. Iblis tidak pernah benar-benar tidak terlihat seperti hantu atau malaikat, namun eksistensi mereka seperti kerikil. Mereka terabaikan. Tidak seperti hantu yang punya penampilan menakutkan atau malaikat yang tampak sangat fantastis dengan sepasang sayap di punggung, kenyataannya, iblis memiliki fisik nyaris serupa dengan manusia—atau setidaknya itulah yang bentuk yang sebagian besar dari mereka pilih.
Well, Nael juga bukan penggemar tanduk dan kalung tiga angka enam. Sang Pencipta menciptakan manusia sebagai bentuk makhluk paling sempurna, karena itu dia memilih tampil seperti kebanyakan manusia biasa. Ditambah dengan pakaian yang segelap jiwanya—jika dia memang benar punya jiwa.
"Siapa?"
"Jangan pura-pura, Nael." Newt mendesis. "Manusia itu. Oriana Suri Laksita."
"Sejak kapan kamu merasa harus repot-repot mengingat nama makhluk mortal?"
"Karena dia adalah makhluk mortal pertama yang berani ikut campur urusan dunia tak kasat mata."
"Dia tidak tahu apa yang dia lakukan." Nael bergumam.
"Sejak kapan kamu peduli pada makhluk mortal?" Newt menghela napas. "Dia mengerti atau tidak, itu bukan sebuah alasan. Kamu tahu, Arantine?"
"Malaikat dari tingkatan tertinggi yang pongah setengah mati itu? Ada apa dengannya?"
"Dia adalah yang bertugas menjemput jiwa itu. Jiwa yang telah diselamatkan oleh kemampuan si makhluk mortal. Dua malaikat yang terlibat pembocoran waktu penjemputan Khansa Amarissa telah menerima sangsi darinya. Tebak bagaimana marahnya dia. Ribuan tahun berlalu, dan ini adalah kesalahan pertamanya."
"Hm." Nael bergumam malas.
"Soal makhluk itu, kenapa kamu memperingatkannya?"
"Siapa?"
"Si makhluk mortal. Oriana Suri Laksita."
"Aku tidak mengerti kamu bicara apa."
"Jangan pura-pura." Newt mendengus. "Kamu menemuinya. Kamu memperingatkan tentang kali ketiga yang bisa berarti kesalahan, sekaligus berdampak buruk baginya. Sayang, dia terlalu naif untuk mengerti."
"Dia masih muda."
"... dan naif." Newt bersikeras.
"Dia tidak naif." Nael menatap pada langit biru yang cerah di luar restoran. "Dia hanya punya kasih yang terlalu banyak. Jiwa yang amat murni. Dia menolong siapapun tanpa meletakkan batas."
"Dan itu akan berakibat buruk padanya."
"Mari berharap semoga tidak ada sesuatu yang buruk terjadi padanya."
"Aku kira iblis seperti kita tidak bisa memiliki simpati?"
"Iblis adalah malaikat yang terbuang dari surga karena menolak bersikap munafik, Newt." Nael tersenyum. "Makhluk mortal itu... Suri, dia tidak munafik. Karena itu, aku merasa perlu memperingatkannya."
"Kamu akan dapat masalah jika yang lain tahu bagaimana kamu telah menunjukkan diri di depan manusia. Mammon mungkin akan menghukummu." Newt berkelakar. "tapi serius, kita tidak bisa berharap tidak akan ada sesuatu yang buruk yang terjadi. Terutama jika itu melibatkan Arantine."
Nael memiringkan wajah. Alih-alih muram, ada senyum penuh misteri yang terkembang di bibirnya. Sesuatu yang tidak Newt pahami.
n o i r
KAMU SEDANG MEMBACA
NOIR
FantasyBook One - Noir [Completed] Book Two - Noir : Tale of Black and White [Completed]