Laki-laki itu sempat membatin kalau dirinya salah mendengar bunyi sesuatu jatuh ketika sedang berada di pekarangan depan. Kursi besi tempatnya berbaring tengah berayun pelan, dan dia menutup mata menikmati hawa dingin. Kedua telinganya tersumpal earphone yang menyambungkan lagu dari ponsel. Kali ini hanya kebetulan saja volume lagi diatur minimum sehingga dia masih bisa mendengar gemerisik dedaunan pohon.
Ketika suara benda jatuh tadi terdengar untuk yang kedua kali, laki-laki itu lantas melepaskan earphone. Dia mendongak, memandang dari jauh balkon di sisi kiri, juga di lantai paling atas rumah. Setiap ada hal aneh apa pun yang semua penghuni di rumah itu rasakan, semuanya hampir pasti bersumber dari penghuni kamar gelap di sana.
Suara barusan dianggapnya sebagai sinyal. Dia melangkah cepat ke arah pintu samping untuk masuk. Gerak kakinya menghasilkan derap yang meski terburu-buru, menyisakan kesan tenang. Matanya mengerjap kala mendengar bunyi susulan yang berkali-kali lipat lebih keras, seperti benda-benda yang sengaja disingkirkan kasar dari tempatnya, benda yang jatuh dan pecah, juga gerak sesuatu yang tertahan lilitan kabel.
"Ranan? Ranan! Buka pintunya!!"
Sesampainya di puncak tangga, dia mengerjap mendengar Susan berteriak sambil menggedor pintu. Dia melihat sosok belakang gadis itu, dan langkahnya mendekat pelan tanpa menimbulkan bunyi. Pintu itu terbuka, namun Susan bergeming.
"Selangkah saja kau masuk.. aku akan menyayat leherku."
Suara Ranan.. Laki-laki itu membatin ditambah seulas senyum tipis yang masam. Suara yang jarang terdengar. Tapi sekalinya terlontar, suara itu bernada peringatan dan ancaman. Bibi Irene pasti akan senang mengetahui kalau prasangka mereka jika suara Ranan hilang tidak terbukti. Hanya saja ini sudah hampir satu setengah tahun yang lalu semenjak peristiwa itu. Ingatannya pasti masih segar terpahat dalam benak Ranan.
Dia menepuk bahu Susan yang lantas memandangnya ketakutan sekaligus khawatir. Gadis itu juga memekik tertahan sewaktu laki-laki di hadapannya mengabaikan peringatan Ranan dan hendak masuk ke sana.
"Kau dengar apa katanya tadi!" kata Susan—hanya dari gerak mulut.
Laki-laki itu membalasnya hanya dengan senyum samar. Susan langsung mengernyit takut bahkan langsung mencegahnya dengan menahan lengan pemuda itu.
"Damar...," sebut Susan, memanggil namanya.
"Tidak akan apa-apa..," balas Damar setengah berbisik. "Istirahat saja, Kak."
Susan bergerak mundur melihat Damar membuka pintu kamar Ranan lebih lebar lalu masuk ke sana. Laki-laki itu juga tidak lupa menutup kembali pintu sehingga Susan tidak bisa melihat apa yang terjadi di dalam.
Hening. Bunyi-bunyi keras yang mereka dengar telah usai. Damar mengedipkan kelopak matanya berulang kali untuk bisa beradaptasi dengan pemandangan gelap di sekelilingnya. Semua komputer di kamar Ranan dalam keadaan mati. Satu-satunya cahaya berasal dari penerangan di luar rumah. Cahaya itu cukup membantu Damar mendapati kabel-kabel kusut di lantai tempatnya berpijak kini. Dia juga lantas menoleh ke samping, di mana Ranan terduduk menghimpit dinding dengan beberapa bagian tubuhnya terlilit kabel.
Damar menduga suara-suara keras tadi berasal dari usaha Ranan untuk melepaskan diri. Laki-laki itu juga yakin Ranan mengetahui keberadaannya di sana.
"Kau bisa tersetrum," ujar Damar lalu melepas colokan terminal. Melihat seisi tempat itu sangat berantakan, dia menghela napas panjang. Dalam diam, dia juga kemudian melepaskan kabel-kabel yang mengunci gerak Ranan. Selesai melakukannya, dia berkata lagi, "Aku akan membereskannya untukmu, jadi maukah kau keluar sebentar?"
Ranan membisu memalingkan wajahnya ke arah lain. Damar menoleh ke arah yang sama dan menyadari laki-laki itu ternyata melempar pandang ke kursi roda dengan jarak selangkah dari tempat Damar.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Marshmallow Meet Dark Chocolate
Mystery / ThrillerStatus: COMPLETED, buku II seri kembar Tiara Chrysantee Len--kembar keempat "Pilih salah satu: mati di tanganku, atau bunuh dirimu sendiri."