47. Red Tea: Invitation from Hell

1.2K 181 6
                                    

Ranan duduk di tepi ranjang sementara wajahnya tenggelam di balik kedua punggung tangan. Malam datang terlalu cepat dengan hujan yang masih mengguyur. Laki-laki itu pun membiarkan diri tenggelam dalam kegelapan kamar sebuah wisma di mana dia menginap dengan Jonas. Guna mengetahui kabar—apa pun itu, dia pun meninggalkan pintu dalam keadaan sedikit terbuka.

Di sisi lain, Jonas, Luki, dan Logan berkumpul di ruang tengah. Selain mereka beberapa polisi berpakaian preman tampak sesekali mondar-mandir.

“Kita tidak bisa begini terus. Apa yang dia lakukan di dalam?” tanya Luki akhirnya tidak sabar.

Jonas lantas melirik ke arah pintu kamar Ranan. Desahannya panjang, mengandung penat yang membuat kepalanya pening.

Luki tiba-tiba teringat sesuatu. Dia menyambar tas ranselnya yang teronggok di samping bawah sofa. Dari sana dia mengeluarkan sebuah ponsel merah muda—bukan miliknya. Memberanikan diri, dia langsung menghampiri Ranan untuk menyodorkan benda tersebut. Ponsel itu pun berpindah tangan.

“Entahlah kalau ada sesuatu di sana yang bisa membantumu. Bukannya kau pernah bercerita kalau kau pernah menggeledah isinya waktu Tiara keluar malam-malam lalu akhirnya ditemukan di gudang?”

Ranan diam. Setelah Luki meninggalkannya, laki-laki itu kemudian membuka segala sesuatu dalam ponsel itu untuk kedua kalinya: riwayat chat, media sosial, nomor-nomor kontak, segala bentuk berkas yang tersimpan. Untuk sesaat, tidak ada yang aneh. Keningnya berkerut tatkala sebuah email toko daring masuk. Ranan tidak tertarik membuka email Tiara karena dipenuhi dengan surel promosi—karena gadis itu senang berbelanja. Meski begitu, bagian email utamanya tidak terlalu banyak. Dari situlah Ranan tidak sengaja menemukan pemberitahuan pembaruan blog milik Bertha.

Blog itu diperbarui hanya beberapa jam sebelum gadis itu ditemukan meninggal.

Penasaran, Ranan kemudian beralih pada laptopnya di mana dia bisa menjelajah ke laman milik Bertha. Gadis itu lumayan sering menulis untuk mengisi blognya. Ranan membaca postingan terakhirnya, lalu dia tertegun dengan mengerjap kaku.

Apakah

Kembali ke ponsel Tiara lagi, Ranan menyalin alamat email Bertha. Jari-jarinya mengetuk tombol-tombol keyboard dengan kasar dan tak sabaran. Beruntung, Bertha menggunakan email yang sama untuk semua akun media sosial yang dia miliki. Tidak butuh waktu lama bagi Ranan untuk meretas semuanya. Dan tidak lama kemudian, laki-laki itu kembali terpaku.

“Luki..” Dia bergumam pelan—hendak memanggil, namun awalnya terlalu kalut. “Luki!!”

Sepupu Ranan tersebut langsung terlonjak setelah tidak sengaja tertidur di atas sofa. Bukan hanya dirinya, Jonas dan Logan pun kaget dan bingung. Luki masuk diikuti mereka berdua. Karena gelap, Logan langsung menyalakan saklar lampu. Ruangan itu menjadi terang benderang sedetik kemudian, membantu mereka mendapati Ranan terengah-engah—seperti gelisah dan marah yang bercampur dari satu.

Menoleh pada Luki yang berdiri bingung tidak jauh di sebelahnya, pandangan Ranan memancar gusar.

“Kau…,” kata Ranan pelan—sejenak menggantung. “Pernah berbohong padaku?”

Luki mengernyit. “Setahuku tidak,” jawabnya sebisa mungkin untuk tenang meski dia merasa napasnya sempat tersumbat.

Ranan langsung tahu Luki tidak menyembunyikan apa pun, namun dia tetap akan membuat dirinya waspada.

“Ini soal anak yang disangka bunuh diri itu,” ujar Ranan yang bangkit berdiri. Sorotnya kelam. “Saat Tiara melihat mayatnya, siapa yang ada bersamanya waktu itu?”

“Yanet? Dan Damar? Lalu…” Luki terdiam sendiri, lupa pada satu lagi anak yang bersama mereka.

“Bagas.” Logan tiba-tiba menyambung. Saat semuanya menoleh pada laki-laki itu, Logan berucap lagi, “Dia yang berboncengan dengan Yanet.”

When Marshmallow Meet Dark ChocolateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang