"Gas! Buruan!" seru Abe dekat Damar dan yang lain.Mereka semua sudah siap berangkat, berjalan kaki ke sekolah seperti biasa. Namun kelompok itu belum lengkap sebelum Bagas bergabung. Laki-laki itu masih berada di kamarnya, mencari-cari sabuknya yang kabur entah ke mana. Biasanya benda panjang itu menggantung pada paku belakang pintu, tapi pagi itu raib.
"Lima menit!!" sahut laki-laki itu disusul dengusan Abe.
Tidak enak pada yang lain yang masih menunggu, Abe lantas meletakkan tasnya ke sofa dan beralih menghampiri Bagas.
Mereka biasa berangkat pagi-pagi, jadi sebenarnya tidak masalah menunggu. Paling-paling jika lewat dari jam mereka biasa pergi, mereka hanya harus berlari. Yanet tidak begitu menyukai opsi kedua. Bukan berarti dia tidak suka lari. Hanya saja dia benci datang ke sekolah dalam keadaan berkeringat. Gadis itupun melempar pandang ke Logan, memberi isyarat supaya berangkat duluan.
"Kalau mau duluan juga nggak apa-apa," kata Damar yang gampang sekali mengartikan ekspresi jengah Yanet.
Gadis itu berdehem sekali lalu mendorong-dorong Logan untuk melangkah keluar lebih dulu. Luki yang cuek pun kali itu memilih mengikuti mereka. Tinggal Damar yang kemudian menyandar ke dinding dengan tangan menyilang.
Saat pandangan Damar mengarah ke pekarangan, saat itulah seseorang berjalan mendekat. Begitu menyadari kehadiran orang lain tersebut, Damar langsung menoleh—mengira dia adalah Abe atau Bagas. Akan tetapi dugaannya meleset. Dia mendapati seorang gadis bagai bisque doll—dengan rambut nilon cokelat ikal yang panjang menutupi punggung, juga sepasang mata yang jernih—memakai seragam sekolah.
"Tiara." Damar menyebut namanya. "Kamu sudah sehat? Nggak apa-apa masuk sekolah hari Senin? Nanti ada upacara loh."
Gadis itu mengangguk pelan.
Dia tidak mungkin hanya berdiam di dalam rumah terus. Pergi ke sekolah adalah satu-satunya jalan dia bisa mencari tahu. Lagipula Tiara tidak sendirian. Setelah beberapa waktu tinggal di sana, baik Damar dan yang lain membuatnya merasa seperti di rumah sebenarnya. Tiara hanya harus sedikit lebih berani.
Demi Bertha.
***
Ranan menggerakkan kursi rodanya ke tepian balkon. Arah tatapannya mengiringi empat orang yang berada di bawah. Damar, Abe dan Bagas.. juga Tiara. Gerak gadis itu kaku, seperti boneka kayu yang dikendalikan benang. Dia juga tetap mengarahkan wajahnya lurus ke depan, tidak sedikit pun menoleh.Gadis itu gugup, simpul Ranan dalam hati. Segala hal yang ditampakkan Tiara sangat mudah diartikan. Entah seperti apa jadinya gadis itu di hari pertamanya ke sekolah—sejak terakhir dia menjelma bagai burung kecil yang terluka. Pada akhirnya, Ranan percaya pada Tiara. Kemarahan gadis itu membuat mereka berdua berada dalam posisi yang sama—setidaknya untuk saat ini.
Laki-laki itu kemudian berbalik masuk.
Ranan tidak menyangkal. Dia sedang menunggu Tiara terjerat pada jebakan pemburu berdarah dingin.
***
Ketika masuk ke ruangan kelas, Tiara menyadari berpasang-pasang mata itu terang-terangan ditujukan pada dirinya. Gadis itupun berpura-pura tidak peduli. Dia menyampirkan tas selempang pada kursi, menempati bangku di barisan paling belakang. Sofi telah lebih dulu duduk di sebelahnya dan kedapatan melirik Tiara.Mereka menggunjingkannya, Tiara tahu. Yanet pun sudah menceritakan bagaimana keadaan sekolah ini sementara Tiara tidak masuk. Tiara harus membaur. Hanya itu satu-satunya cara supaya dia bisa lebih leluasa menyelami tiap-tiap karakter dalam Redinata. Bisa saja orang yang jadi target Ranan dan dirinya ada di antara mereka. Akan sulit berlaku ramah apabila mereka masih mengintimidasinya seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Marshmallow Meet Dark Chocolate
Mystère / ThrillerStatus: COMPLETED, buku II seri kembar Tiara Chrysantee Len--kembar keempat "Pilih salah satu: mati di tanganku, atau bunuh dirimu sendiri."