Sebuah mobil hitam memasuki pekarangan satu-satunya rumah di atas bukit Sukma. Bangunannya tua, berhias macam-macam tumbuhan sulur yang merembet pada tiap sudut. Rumah itu sudah lama berdiri dan diwariskan dari generasi ke generasi. Terdapat taman dengan latar catur beserta pion pada sisi kanan dan kiri air mancur dengan patung ikan raksasa di tengahnya. Sementara itu, halaman kosong menjadi hamparan bunga-bunga yang menyukai cuaca dingin dan lembab.
Mobil tadi berhenti tepat di depan pintu utama. Seorang pria keluar dari bagian kemudi lantas beralih membukakan pintu untuk seorang wanita di sebelahnya. Kaki dengan sandal bunga besar menjulur keluar.
"Ma'am!" Abe berseru menyambut. Anak itu berjalan cepat menyongsong pemilik rumah. Di belakangnya muncul Susan, Bagas, Damar, dan Luki—seorang cowok yang belum sepenuhnya sadar dari mimpi tidur siangnya.
"There you are my little bunnies," kata Irene memasang wajah berseri-seri seperti biasa. Tangan kirinya mengusap-usap perutnya yang besar, sedang tangan yang lain menyangga pinggang.
Suaminya—pria tak berambut membawa dua tas besar sekaligus kemudian bergerak ke sisi Irene, sehingga wanita itu langsung merengkuh lengannya, menuntun Irene menaiki tangga rendah depan rumah. Damar sempat menawarkan diri membantu Om Andy membawakan tas-tas itu namun ditolak melalui gelengan.
"Irene let me be a man," ujarnya dengan wajah datar.
"I let him be a man," tambah Irene direspon cengiran kuda yang hambar dari Abe dan Bagas.
Om Andy langsung pergi ke kamar utama untuk meletakkan barang-barang, sedangkan yang lain—kecuali Susan—pamit ke kamar masing-masing setelah basa-basi sejenak. Susan mengikuti Irene ke dapur di mana wanita itu mengeluarkan sepiring buah-buahan dari lemari es lantas memakannya lahap.
"Ranan masih di kamar?" tanya Irene sebelum memasukkan sebutir anggur merah ke mulut.
"Di mana lagi?" balas Susan yang menuangkan susu ke gelas untuk Irene.
"Ada masalah selama aku tidak ada?"
Susan terdiam. Kelopak matanya berkedut, dan gadis itu jelas-jelas menghindari pandangan Irene. Baru sekitar setengah jam yang lalu dia mengantarkan makan siang Ranan. Laki-laki itu masih tetap sama: diam bagai patung es dengan posisi membelakangi pintu. Hanya saja jemarinya sibuk mengetik pada keyboard. Ketikannya cepat dan tanpa jeda. Kecepatan yang tidak wajar—kalau Susan boleh berkomentar. Entah apa yang selama ini dia lakukan dengan tiga komputer dalam kamarnya. Ranan mirip Luki yang suka menghabiskan waktunya berkencan dengan komputer, hanya saja bagi mereka semua, Luki lebih "waras". Susan juga ragu menimbang apakah dia harus menceritakan kejadian beberapa hari yang lalu pada Irene.
"Kamu cuma masih belum terbiasa," ujar Irene sembari tersenyum.
"Kalau saya terbiasa, itu artinya saya sudah tidak waras." Susan mengedikkan bahu. "Ranan cuma mengizinkan Damar masuk ke kamarnya. Waktu saya hampir masuk, Ranan mengancam akan menyayat lehernya."
Irene mengerjap bingung. "Mengancam?"
"Ya, dia sendiri yang bilang."
"Ranan... bilang..?"
Senyum Irene tersungging lebar, tidak peduli tatapan aneh Susan. Padahal Susan yakin kalau dia mengatakan bahwa Ranan melontarkan ancaman yang bisa membuat siapa pun merinding mendengarnya. Apa yang menggembirakan dari kalimat bernada ancaman akan bunuh diri dari laki-laki aneh, anti sosial, psikopat, dan super pemarah seperti itu?
"Sayang! Sayaaaang!" seru Irene memanggil Om Andy. Wanita itu lantas berdiri lalu melangkah menuju kamarnya.
Susan mendengar sahutan Om Andy, sembari bertanya-tanya apa yang akan dilakukan mereka berdua pada Ranan setelah ini. Gadis itu pun mendengar baik-baik percakapan sepasang suami istri aneh pemilik rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Marshmallow Meet Dark Chocolate
Misterio / SuspensoStatus: COMPLETED, buku II seri kembar Tiara Chrysantee Len--kembar keempat "Pilih salah satu: mati di tanganku, atau bunuh dirimu sendiri."