Lampu di sana hampir tidak pernah dinyalakan. Dalam dua tahun belakangan, dirinya telah berteman dengan kegelapan. Terdapat tiga unit komputer yang hampir dinyalakan dua puluh empat jam. Kabel-kabel di lantai dibiarkan berserakan, puluhan bahkan ratusan wadah CD bertumpuk asal, juga kertas-kertas berisi coretan angka dan huruf yang berisi kode menjelma bagai karpet. Dan di tempat itulah dia berkutat dengan keheningan panjang.
Sampai hari beranjak siang, namun tirai kamarnya masih menutup. Dalam kebisuan, laki-laki itu bergeming di atas kursi roda yang menghadap samping kiri—meskipun komputer yang tengah dia pandangi layarnya terletak di depan. Dalam layar itu pula, sebuah video diputar berulang-ulang. Entah sudah berapa jam sejak komputer tersebut dinyalakan dan memutar video tadi.
Dia cuma berkedip pelan tatkala seseorang mengetuk pintu.
"Ini Susan. Aku membawakanmu makan siang," kata seorang gadis berperawakan mungil dan pendek. Seperti biasa, tidak ada sahutan. Susan lantas memberanikan diri membuka pelan pintu yang tidak pernah terkunci itu. Langkahnya mengendap untuk menaruh nampan makanan pada meja yang disediakan tidak jauh dari pintu.
Laki-laki itu tetap pada posisinya bagai patung—sedikitpun tidak menoleh. Susan bahkan ragu kalau keberadaannya disadari. Lagipula dengan posisi laki-laki itu kini, Susan juga tidak bisa mengetahui apakah dia tengah tertidur atau tidak. Bisa saja bukan orangnya yang menonton video, melainkan video itu yang menonton patung.
Sempat—meski amat singkat, Susan mendapati kulit pucat laki-laki itu terbalut selimut hitam berbulu. Sementara untuk membuat kedua kakinya tetap hangat, disampirkan juga selimut yang lain dengan warna muram. Sepertinya laki-laki itu sempat beberapa kali bergerak semalam, karena kini telapak kaki telanjangnya menggantung—tidak lagi berpijak pada tempatnya pada kursi roda. Kaki itu pasti akan menggesek lantai saat kursi roda dijalankan.
Susan keluar lagi-lagi dengan mengendap. Pelan-pelan pula dia menutup pintu.
"Abe! Abe!" Seseorang berseru memanggil. "Abe!!"
Kepala laki-laki dalam kamar gelapnya bergerak ke arah suara berisik yang mengganggunya. Tangannya lantas bergerak menekan tombol pada lengan kursi roda sehingga benda itu bergerak otomatis. Dia menyibakkan setengah tirai, kemudian membuka pintu balkon untuk melihat siapa yang tengah berteriak tidak tahu diri. Kedua alisnya bertaut.
"Abe!!" Pria tua itu masih terus memanggil sampai ada sahutan.
Laki-laki tadi menggerakkan lagi kursi rodanya—kali ini ke arah rak. Di sana dia mengambil salah satu pion catur kayu berwarna cokelat terang dan sebuah ketapel. Dua benda itu ditaruh sebentar di atas pangkuannya ketika dia kembali lagi ke balkon. Laki-laki itu menarik bagian elastis dari ketapelnya, sembari mengira-ngira energi yang harus dilepaskan supaya pionnya tepat sasaran.
"Abe!" Sang Bapak masih berseru, namun kali itu bocah laki-laki yang dia panggil akhirnya buru-buru berlari keluar rumah.
"Ada apa, Pak?" tanya seorang remaja bernama Abe itu. Napasnya tersengal-sengal karena berlari secepat yang dia bisa. Hanya saja dia bukan berlari demi Pak Teguh—tukang kebun yang belum genap sebulan pindah, melainkan khawatir teriakannya akan membuat marah seseorang.
Sementara Pak Teguh bicara dengan sumringah kalau dia mengantar jeruk dan stroberi yang baru saja dipanen, pion pada ketapel sudah siap ditembakkan. Kurang dari sedetik, benda kecil itu melesat. Bagai bunyi kacang mede yang dilempar dalam kobaran api, pion itu langsung menghantam pipi Pak Teguh.
"WADAW!!" Orang tua itu sontak memekik.
Abe mengerjap kaget. Dia pun kelabakan melihat bekas memerah yang otomatis muncul apabila terjadi benturan.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Marshmallow Meet Dark Chocolate
Mistério / SuspenseStatus: COMPLETED, buku II seri kembar Tiara Chrysantee Len--kembar keempat "Pilih salah satu: mati di tanganku, atau bunuh dirimu sendiri."