"Maaf meneleponmu pagi-pagi begini. Ini soal jadwal kami untuk beberapa hari ke depan.."
Gladys berbicara melalui sambungan telepon. Penampilannya kusut. Rambutnya acak-acakan, ditambah matanya yang menyorot sayu. Dia pun belum sempat mengganti pakaiannya, sehingga kemeja putih bergaris hitam menjadi balutan tubuhnya ketika beristirahat—atau persisnya, dia tidak bisa sekalipun memejamkan mata. Diam-diam Gladys melirik pada pintu kamar tidak jauh dari tempatnya berdiri. Pintu itu masih terbuka, dan Gladys sama sekali tidak mendengar suara berisik seperti biasa saat pagi hari datang.
"Saya tidak sedang bercanda," kata Gladys menanggapi lawan bicaranya. "Batalkan semuanya. Kami benar-benar minta maaf. Soal kerugiannya, akan saya bereskan nanti."
Gladys tahu lawan bicaranya kali ini akan terus mengoceh sampai kepala Gladys meledak. Bahkan tanpa mengucapkan kata penutup, wanita itu lantas menutup sambungan. Rongga dadanya mengembang untuk menghela napas panjang. Berat, kepalanya lalu bersandar pada lengan sofa.
Ini buruk, pikirnya. Membatalkan semua jadwal mereka saja sudah merupakan masalah yang besar. Dampaknya akan langsung berimbas pada Tiara. Tapi sebenarnya bukan itu yang membuat Gladys sangat khawatir kini.
Gadis itu—Tiara sedang meringkuk menghimpit di pojokan kamarnya memeluk kakinya sendiri. Matanya membuka, namun Gladys tidak yakin mata itu dipakainya untuk melihat ke sekeliling. Sinar pada sorotnya lenyap entah ke mana, digantikan dengan kekosongan yang membuat Gladys membeku. Tubuh gadis itu gemetaran dan air matanya tidak kunjung berhenti mengalir. Ada yang salah juga dengan lengan gadis itu. Gladys sempat berusaha memeriksanya, tapi Tiara tambah ketakutan dengan terus-terusan bergerak menghimpit dinding.
Apa yang terjadi? Apa yang jadi sebab Tiara ketakutan seperti itu? Apa dia diserang orang?
Semalam, Tiara mengirimnya pesan. Hanya dua kata yang amat singkat yang intinya menyuruh Gladys menjemputnya saat itu juga. Gladys datang ke lokasi dengan wajah sebal, mengira kalau Tiara membuat ulah lagi atau mobilnya mogok. Nyatanya gadis itu terpekur sendirian di atas jembatan yang sepi. Gladys juga sudah mengecek semua bawaan Tiara. Tidak ada barang yang hilang.
Menghirup napas dalam-dalam lagi untuk yang kesekian kalinya, Gladys selanjutnya masuk kembali ke kamar Tiara. Posisi gadis itu masih sama seperti semalam. Gladys lalu duduk berjongkok untuk menatap Tiara lurus.
"Aku menyimpan sekotak penuh marshmallow di lemari paling bawah dapur.. kau mau memakannya sekarang?" tanya Gladys, berharap ekspresi ketakutan Tiara akan berubah. Bujukannya tidak berhasil. "Atau kau mau kita pergi ke restoran kesukaanmu? Akan kubiarkan kau makan sebanyak-banyaknya hari ini."
Tiara masih tetap bergeming.
Gladys mulai kehabisan bujukan. Semua yang dia ucapkan kali ini, sama persis dengan tawarannya semalam. Bahkan sempat terbesit dalam benaknya kalau dia lebih suka Tiara menghancurkan semua barang di apartemen mereka daripada diam bagaikan mayat seperti sekarang. Dia melihat ke arah jam dinding, lalu menoleh lagi pada Tiara.
"Aku akan membuatkanmu sarapan..," katanya pelan sebelum keluar dari kamar itu.
Selang beberapa waktu, Gladys menghampiri Tiara membawa nampan dengan makanan hangat yang masih mengepulkan uap. Hanya saja berjam-jam setelahnya, makanan itu dibiarkan mendingin tanpa disentuh sekalipun sampai hari beranjak malam.
***
"Kau yakin Chrysantee yang mendorong? Bisa saja itu cuma gosip."
"Teman Fara sendiri yang bilang. Kau sendiri tahu kalau jembatan Roden itu tidak punya pagar kan? Siapa tahu Chrysantee memang sengaja."
KAMU SEDANG MEMBACA
When Marshmallow Meet Dark Chocolate
Mystère / ThrillerStatus: COMPLETED, buku II seri kembar Tiara Chrysantee Len--kembar keempat "Pilih salah satu: mati di tanganku, atau bunuh dirimu sendiri."