8. Teared Marshmallow

1.6K 209 0
                                    

Kuah sup mendidih dalam panci. Irene mematikan kompor lalu mengambil sendok sayur. Wanita itu menyeruput sedikit kuahnya, mengira-ngira apakah rasa di dalamnya sudah cukup baik. Alisnya terangkat dengan bibir menekan. Irene kemudian beralih ke penanak nasi. Dia menaruh sebagian nasi yang baru saja matang ke sebuah mangkuk. Hal yang sama dia lakukan pada sup tadi.

"Tadi Pak Teguh mengantar stroberi lagi," kata Susan yang membantu Irene sambil menata alas mangkuk dan sendok ke atas nampan.

"Bagus. Nanti kita bisa bikin selai untuk sarapan besok," balas Irene melepas celemeknya. Wanita itu lalu duduk perlahan sambil menyeka keringat di dahi.

Susan menghela napas panjang. "Saya kan sudah bilang, saya aja yang masak buat Ranan. Tante sih keras kepala."

Irene tertawa kecil. "Itu tadi hutang karena sudah pergi seminggu," katanya. "Anak itu belum bisa tenang kalau aku nggak ada di sini."

"Padahal umurnya satu tahun di bawahku. Tapi tingkahnya kayak anak kecil. Menyusahkan orang saja," gerutu Susan. "Aku nggak tahu apa yang buat dia jadi seperti itu. Tapi Tante kok bisa-bisanya sih biarkan dia jadi seenaknya?"

"Susan," sebut Irene dengan ekspresi yang serius, membuat Susan tertegun. "Jaga bicara kamu. Kita sama-sama nggak berhak berkomentar soal Ranan."

Susan mengatupkan bibirnya beberapa saat. Gadis itu lalu duduk berhadapan dengan Irene, menunda mengantarkan makan siang ke kamar Ranan.

"Kenapa Tante dan Om Andy selalu diam kalau ada pembicaraan soal Ranan? Aku dan yang lain selalu menurut waktu Tante bilang kalau kami harus selalu baik sama dia. Tapi bagaimana mungkin kami bisa tahan oleh dia yang seperti itu kalau kami nggak pernah tahu alasannya?"

"Tahan?" Irene tersenyum samar. "Ranan nyaris nggak pernah keluar kamar. Dia nggak pernah mengganggu kalau tidak diganggu duluan. Tahan oleh apa yang kamu maksud?"

Balasan Irene membuat Susan bingung. Mengapa dia berkata seperti itu tadi? Susan langsung menyalahkan diri. Dirinya sudah hampir dua tahun tinggal di rumah itu, serta mengenal Irene dan Om Andy. Om Andy kental dengan karakter yang kaku dan terkesan serius menghadapi segala sesuatu. Namun ketika pria itu digabungkan dengan Irene, istrinya, kekakuannya meleleh, lantas ditukar dengan perangai yang hangat dan menyenangkan. Susan memang seringkali melihat Irene berlaku konyol, tapi sebenarnya wanita itu punya pikiran tajam. Susan bahkan masih ingat sewaktu Irene membungkam seketika orangtua Abe yang datang hendak menyeret bocah penakut dan lemah itu untuk pulang—masuk kembali dalam kekangan keluarga karena dia anak laki-laki satu-satunya.

"Tapi seandainya dia bisa sedikit terbuka, Damar nggak perlu susah payah mengurusnya. Ranan selalu membuat Damar repot." Susan bersikeras.

"Damar nggak pernah mengeluhkan apa-apa pada tante."

Susan terdiam. Gadis itu akhirnya mengakui kekalahannya. Semakin dia mendebat, semakin pula kentara argumennya yang lemah dan tidak memahami situasi.

"Kamu jadi antar makan siangnya atau tidak?" tanya Irene. Senyum manisnya tersungging lagi. "Atau tante yang ke sana?"

Susan tidak menjawab. Meski begitu dia mengangkat nampan lalu berbalik pergi dengan memasang wajah memberengut. Dia hanya berkicau tadinya. Pikirannya soal mempermasalahkan tingkah laku Ranan langsung buyar ketika dihadapkan langsung dengan laki-laki itu.

Irene memandangi sosok Susan yang perlahan menjauh. Benaknya memikirkan beberapa hal. Lamunannya berlangsung amat singkat ketika ponsel di atas meja berdering. Irene melihat nama yang tertera pada layar dan matanya mengerjap.

"Halo, My dear..," sapa Irene ramah. "Tumben sekali kau meneleponku. Bagaimana Orchidee?"

Percakapan tersebut berlangsung beberapa menit untuk sekedar basa-basi. Ketika lawan bicaranya kemudian memaparkan maksud sebenarnya, Irene menghela napas panjang, selanjutnya membalas dengan respon positif yang sepenuh hati. Susan kembali tidak lama setelahnya, tepat saat Irene memutus sambungan.

When Marshmallow Meet Dark ChocolateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang