Davao, Philippines, 7 years ago.
Klakson mobil dan bus bersahut-sahutan di tengah hiruk pikuk kota yang diselimuti asap kendaraan. Sebentar lagi tengah hari menjelang. Yanet merasakan pandangannya semakin berkunang-kunang. Sementara pria paruh baya yang menggandeng tangannya hanya mengenakan kaus tanpa lengan sebagai atasan, Yanet harus memakai jaket hijau kusamnya yang tebal dan bertudung. Pria itu juga tidak peduli Yanet bisa jatuh akibat dehidrasi karena kini cairan tubuhnya menguar bersama keringat.
Sekitar setengah jam yang lalu, mereka turun dari bus sesampainya di Davao setelah memakan tiga jam lebih perjalanan. Runjie—nama pria itu, paman Yanet—menyuruhnya bersiap pagi-pagi tadi dan mengatakan pada gadis itu mereka akan pergi ke suatu tempat. Dia membentak saat Yanet menggeleng. Hari itu bukan hari libur. Yanet harus berangkat sekolah. Dan Runjie membuatnya membolos.
Mereka menyusuri jalan-jalan kecil yang dihimpit bangunan-bangunan tua dan kumuh. Yanet mengedarkan pandangan ke sekeliling, menemukan wajah-wajah yang sedikit demi sedikit mengintimidasinya. Kebanyakan orang-orang di sana merupakan pria-pria bercambang dan berkulit gelap. Sama seperti Runjie, mereka mengenakan kaus dalam atau bertelanjang dada.
"Where are we going?" tanya Yanet untuk yang kesekian kalinya, namun Runjie hanya diam. Saat langkah Runjie memelan, Yanet merasakan cengkeraman tangannya makin kencang di pergelangan tangan gadis itu.
Di depan mereka berdiri bangunan bercat merah marun yang tidak berlapis semen—hanya bata. Runjie pun mengetuk pintu dengan tidak sabar. Selang hanya beberapa detik, pintu dibuka oleh seorang wanita tua yang gemuk dengan dandanan yang agak kacau.
Runjie dan wanita itu menoleh ke arahnya sekilas. Mereka sama-sama bicara pelan hingga Yanet tidak mengetahui maksud keduanya. Wanita itu masuk lagi ke dalam. Setelah hampir sepuluh menit menunggu, dia keluar dengan membawa setumpuk uang. Runjie menerimanya, dan Yanet bisa melihat binar ganjil di mata pamannya itu.
Yanet tambah bingung saat Runjie langsung beranjak pergi meninggalkannya. Yanet menyerukan namanya, tapi wanita tadi buru-buru menahan lengannya.
"Masuk, Nak. Pamanmu membawamu ke sini untuk bekerja," katanya. Belakangan Yanet mengenalnya dengan nama Trisha.
Induk semang yang kejam.
***
Menjelang malam, Trisha menyuruh Mary—perempuan yang juga tinggal di sana—untuk membantu Yanet bersiap. Mary tidak menyukai Yanet. Boleh jadi dia tidak menyukai semua orang dalam rumah itu. Protes Yanet tidak digubrisnya saat gadis itu bilang dia bisa mandi dan berpakaian sendiri. Mary melucuti pakaian Yanet dan langsung mendorongnya ke bathub.
Saat gerak-gerik Yanet kaku mengenali kamar tempatnya berada sekarang, lambat laun dia bisa mencerna kalau itu kamar Mary. Perempuan itu membongkar lemari bajunya lantas memilihkan gaun merah untuk Yanet. Gaun yang membuat selangka, bahu dan punggungnya terekspos. Sementara di bawahnya, gaun itu berada jauh di atas lutut.
"Aku tidak mau memakai ini," tolak Yanet.
Seakan telah memperkirakan penolakan gadis itu, Mary mengambil sebilah tongkat kayu dari dalam lemari. Suara membalun yang mengerikan teredam oleh dinding kedap suara. Tanpa ampun Mary menghantam Yanet hingga guratan-guratan kemerahan menghiasi nyaris di semua bagian tubuhnya.
Tidak peduli sekeras apa pun Yanet menjerit, satu-satunya alasan bagi Mary supaya berhenti adalah ketika perempuan itu puas.
"Semua anak baru memang harus diberi pelajaran dulu," ujar Mary melihat tubuh Yanet berbaring tengkurap. Lilitan handuk yang menutupi tubuh itu tersibak, memperlihatkan banyak memar bekas pukulan. "Tamu penting hari ini Tuan Seth. Dia akan sangat suka jalang malam ini tampak tak berdaya. Sebenarnya tidak apa-apa kau tidak memakai baju itu.."
Sembari meringis, Yanet menatap tajam pada Mary, namun perempuan itu hanya menyeringai sinis.
"Aku hanya harus meminjamkan kamarku kalau begitu." Ucapannya seketika membuat Yanet membeku. "Berharaplah dia tidak tambah merusakmu, meski ini untuk yang pertama kalinya."
Mary melempar tongkatnya begitu saja lalu keluar meninggalkan Yanet. Saat Yanet buru-buru hendak keluar juga, dia mendapati Mary telah lebih dulu menguncinya. Frustasi dan hampir menangis, Yanet mengambil beberapa helai pakaian dari lemari yang tidak terlalu mencolok. Setelah membalut tubuh seadanya, gadis itu menghampiri jendela yang berjeruji.
Sekeras apa pun dia mencoba menghantamnya, jeruji itu tetap bergeming. Dia berteriak, menjerit, tapi sayangnya tidak ada yang akan mendengar.
Tidak lama kemudian, pintu kamar itu dibuka. Yanet yang ketakutan, menoleh dengan tubuh gemetaran. Seorang pria bercambang yang memiliki perut buncit tersenyum padanya setelah Mary menutup dan mengunci pintunya lagi dari luar.
"Benar katanya, rambutmu merah," komentar pria itu—Seth pertama kali saat melihat Yanet. Pandangan menjijikkannya menelusuri tiap lekuk tubuh Yanet yang ditangkap matanya.
Saat Seth mendekat, Yanet langsung berlari menghindar. Pada akhirnya pria itu berhasil mencengkeram bagian bawah celana yang tengah Yanet kenakan. Gadis itu kontan terhempas ke depan. Dahinya membentur pinggiran meja rias. Ketika Seth hendak menindih tubuh gadis itu, Yanet menendang perutnya hingga dia menggeram.
Pukulan dan tamparan diterima Yanet setelahnya. Semua pakaian yang melekat di badan gadis itu dirobek kasar dan tanpa ampun. Jeritan pilunya justru makin membakar gairah Seth.
Gadis itu diperkosa berkali-kali dengan brutal.
Berharap supaya kematian menjemputnya saja.
Atau hidup demi membantai semuanya.
***
Dua minggu penuh Yanet dikurung dalam kamarnya yang gelap dan lembab. Pakaian dan makanan yang dia terima tidak layak. Menunggu supaya luka-luka di tubuhnya memudar, Trisha sama sekali tidak mengusik gadis itu. Makian demi makian terus diterima Yanet.
Dia harus pulih supaya bisa digunakan lagi.
Dan tamu tidak akan suka boneka mainannya rusak.
Ketika akhirnya Trisha merasa Yanet telah berangsur pulih, dia menyuruh Mia—pelacurnya yang lain—mempersiapkan Yanet. Berbeda dari Mary yang kejam, Mia lebih memiliki perasaan. Beberapa kali dia mencoba mengajak Yanet bicara, namun mulut gadis itu selalu terkatup rapat. Sorotnya kosong seolah tidak memiliki jiwa lagi.
Trisha mendorong Yanet bertemu dengan seorang pria yang berumur tidak jauh berbeda dari Seth bernama Jordan. Namun dari kesan pertama, Jordan tampak lembut. Pria itu menuntun Yanet ke kamar setelah basa-basinya dengan Trisha usai.
Karena Yanet tidak sekali pun merespon saat diajak mengobrol, Jordan mulai hilang kesabaran. Tiba-tiba pria itu memagut bibir Yanet dengan penuh napsu. Tidak ketinggalan juga tangan kirinya menyelip di balik gaun Yanet yang berbelah dada rendah. Tubuh gadis itu dia hempaskan ke ranjang kemudian ditindah.
Yanet tetap diam sementara Jordan mulai melucuti gaunnya. Makin liar, Jordan memberikan ciuman-ciuman yang kasar di leher dan selangka Yanet, menimbulkan bekas kemerahan yang kentara.
Dan tepat saat tangan Jordan mulai menerobos masuk ke bawah roknya, Yanet mengeluarkan garpu yang dia selipkan pada puncak stoking. Ketika Jordan kembali menyejajarkan wajah keduanya untuk kembali memagut bibir Yanet, ujung garpu itu pun langsung menancap ke lehernya tanpa ragu.
Jordan tercekat. Merasakan ujung yang tajam pada lehernya, dia bisa melihat manik kelam Yanet yang menatapnya dingin.
Darah mengucur dan melumuri dada Yanet yang terbuka. Gadis itu mendorong Jordan sampai berguling dari tempat tidur. Pria itu menggeliat sampai akhirnya tidak bergerak sama sekali.
Yanet yang masih memandang kosong, duduk berdiam di atas ranjang yang berhias percikan darah. Saat berangsur-angsur benak jernihnya kembali, dia lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Tidak berapa lama gadis itu meninggalkan kamar dan mayat Jordan.
Dia berjalan tidak tentu arah sampai akhirnya Trisha menemukannya lagi.
Wanita itu kalap dan menghajarnya bertubi-tubi hingga nyaris tewas.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Marshmallow Meet Dark Chocolate
Mistério / SuspenseStatus: COMPLETED, buku II seri kembar Tiara Chrysantee Len--kembar keempat "Pilih salah satu: mati di tanganku, atau bunuh dirimu sendiri."