24. Dark Chocolate: Silhouette

1.5K 170 11
                                    


Jeda yang panjang. Tiara memandang penuh tanya pada Damar dalam hening. Hanya ada mereka berdua dalam gedung basket, namun masing-masing tidak begitu peduli. Laki-laki itu seperti tidak bersungguh-sungguh menatap Tiara. Memang arahnya lurus, namun sorot kosong itu sukar sekali ditangkap maknanya—bahkan apabila Tiara mencoba menyelaminya lebih lama lagi.

Hampa.

Dalam.

Sesaat, sosok Damar yang Tiara kenal bagai menjelma menjadi sebuah sket wajah yang utuh. Dapat dipandang terus-terusan, akan tetapi seterusnya berdiam.

"Ke-keluarga.. Ranan..?" Tiara berucap. Gadis itu langsung mencerna kalimat Damar, tetapi kata-katanya tidak bisa menyamai segala sesuatu dalam benak.

Kelopak mata Damar berkedip sekali sebelum senyumnya mengulas lagi.

"Maaf ya.. Nggak seharusnya aku cerita soal itu," katanya pelan. "Ini untuk kebaikan kamu. Ayo balik ke kelas."

Tangan Tiara sontak menahan lengan Damar saat laki-laki itu hendak beranjak. Mengerjap, dia menoleh dan menerima ekspresi menuntut dari Tiara.

"Ceritakan padaku," pintanya.

Damar menghela napas panjang. Mungkin menyinggung persoalan tentang Ranan bukanlah ide bagus, terutama pada Tiara. Damar bahkan memalingkan wajahnya ke lain arah sementara Tiara masih memohon padanya dalam diam. Saat dia akhirnya menoleh lagi pada gadis itu, Damar mengusap atas kepalanya lembut.

"Kembalilah dulu ke kelas," ulang Damar. Sebelum Tiara akan memprotes, dia kembali berkata, "Kita bisa jalan-jalan sepulang sekolah nanti."

***
Dalam kamarnya yang gelap, Ranan masih mendekam. Sepasang matanya terjaga, tapi tidak mengarah ke mana pun. Kali ini sangat jarang, semua komputer di kamarnya dalam keadaan mati. Tidak ada bunyi dengung CPU yang membuat peningnya bertambah. Laki-laki itu mengerjap pelan menyusuri sepi. Dirinya tidak pernah lepas dari sunyi. Keheningan tidak pernah berusaha mengusik Ranan. Hanya saja dia tahu kalau keheningan itu perlahan membuatnya larut.

Bunyi singkat pada ponselnyalah yang akhirnya membuat Ranan bergerak. Kursi rodanya lalu memutar, menghampiri meja. Irene mengirimkan chat padanya—seperti biasa dengan stiker-stiker manis.

Mamamu yang mirip Angelina Jolie waktu hamil ini mau pesan bunga.
Mau juga? Kasih tau jenis bunga_warna_berapa biji.
Love ya~ muah :*

Belum lama waktu yang terlewat. Ranan bahkan merasa kejadian itu berlangsung hanya beberapa hari lalu.

"Kalau November datang lebih cepat, kita akan rencanakan pesta mulai sekarang. Ceri sudah tak sabar mau memangkas habis bunga-bunga di kebun.."

Ranan memejamkan mata, mendengarkan dalam ilusi ingatannya mengenai sosok lembut yang penuh wewangian herbal. Wanita itu tidak pernah menyukai kulih pucatnya yang memberi kesan tidak sehat. Karenanya dia sering terlihat berada dalam rumah kaca, dengan senang hati bermandikan cahaya matahari pagi.

Memandang ke tirai yang masih menutup, Ranan merenung. Perlahan, dia bergerak ke pintu balkon. Tangannya mengulur ke atas, lantas menyibakkan tirai abu-abunya sehingga cahaya lebih mudah menerobos masuk. Partikel udara menari-nari. Bagi Ranan, partikel-partikel itu serupa kunang-kunang biarpun hanya memantulkan sinar.

"Mama suka sekali kalau langitnya cerah.."

"Kenapa? Panas."

"Kalau sekeliling kita terang benderang, mama nggak pernah merasa sendirian."

Kira-kira apa yang akan dikatakannya jika melihat Ranan telah berselimut kegelapan sejauh yang laki-laki itu bisa ingat? Apa dia akan marah lalu mengomeli Ranan? Apa Ceri juga akan mencibirnya habis-habisan?

When Marshmallow Meet Dark ChocolateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang