Pandangan mereka semua terpaku. Tubuh itu tidak akan pernah lagi bergerak, dan matanya tidak akan membuka meskipun dipanggil berapa kalipun. Ironisnya, terakhir kali dia terlihat, tidak ada senyum yang menghias wajah itu, melainkan kemurungan.Tiara mematung. Kesadarannya menguar, meski pandangannya tetap terpancar ke satu arah. Semua indera yang lain mendadak mati. Dia tidak bisa mendengar apa pun, walaupun jeritan melengking dikeluarkan si Pembantu rumah yang histeris. Beberapa detik, Tiara masih bergeming, namun sesaat kemudian kakinya melangkah pada Bertha. Ketika dia akhirnya bisa melihat wajah kaku Bertha, tiba-tiba saja tubuhnya berguncang.
"A—...!"
Lengan gadis itu ditarik memutar kurang dari sedetik lalu dibekap erat. Tiara meronta liar juga menjerit, namun rengkuhan Damar tetap erat menarik dirinya keluar secepat mungkin. Di samping mereka, Bagas juga berubah panik melihat Tiara sama histerisnya dengan wanita pembantu Bertha.
Saat tinggal Yanet dan wanita tadi yang tersisa di ambang pintu kamar Bertha, gadis itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Yanet sempat melirik wanita yang tengah tersedu-sedu di dekatnya, namun lagaknya seperti orang yang tidak peduli sama sekali. Dia justru lebih senang mengulangi tatapan dari atas ke bawah yang dilakukannya pada Bertha.
Mengulum bibir sejenak, Yanet lantas berjongkok menghampiri si Pembantu.
"Mau bantu menurunkan dia atau tidak?" tanyanya sambil memiringkan kepala. Wanita itu mengangguk biarpun masih sesenggukan.
Mulanya Yanet mengambil kursi. Dia meletakkan kursi itu ke atas ranjang. Saat tingginya dirasa kurang, Yanet menambahkannya dengan tiga tumpukan buku tebal ke atas kursi. Gadis itu lalu memanjat dan tangannya mampu meraih kaitan kawat yang menjerat leher Bertha.
"Oh, Tante," kata Yanet kemudian. "Tolong tangkap Bertha ya. Kalau aku melepas kawatnya, dia akan langsung jatuh nanti. Suara mayat jatuh terbentur itu sama sekali tidak enak didengar."
***
Tiara makin tidak terkendali. Gadis itu meraung dan menjerit tanpa peduli bila pita suaranya bisa hancur sewaktu-waktu. Damar bahkan mulai kewalahan menahan gerak liarnya. Laki-laki itu juga sempat berpikir kalau suara Tiara akhirnya kembali berkat syok yang dia alami. Ironis sekali jika gadis itu bisa kembali bersuara berkat kematian temannya.Damar meminta Bagas menghubungi Irene atau Susan datang secepatnya ke tempat itu dengan mobil—karena hanya dua orang itu yang bisa menyetir. Pada akhirnya Irenelah yang datang. Karena mereka butuh satu orang lagi yang setidaknya bisa meredam amukan Tiara, Susan pun menemani. Barulah ketika mobil itu akhirnya melaju kembali ke rumah, Yanet keluar mendatangi Damar dan Bagas.
"Di mana Tiara?" tanya gadis itu.
"Pulang ke rumah dengan bibi dan Kak Susan," jawab Bagas yang membuat Yanet mengangkat alis.
"Kita musti ke dalam sebentar," kata Damar yang langsung dihadang oleh Yanet. Laki-laki itupun mengerutkan kening.
"Kita pulang saja," kata Yanet. Sebelum Damar memprotes, Yanet lebih dulu menambahkan, "Aku sudah menelepon polisi. Mayat Bertha juga sudah diturunkan. Bisa runyam kalau TKP tambah diacak-acak."
Damar dan Bagas saling berpandangan aneh. Yanet tidak menggubris reaksi mereka. Gadis itu hanya ingin cepat-cepat pulang. Ingatannya memutar di waktu ketika untuk pertama kalinya dia mendengar suara Tiara keluar karena nyaris berteriak sebelum Damar mendekapnya. Yanet tersenyum samar.
***
"KELUAR!! KELUAR SEKARANG!!!"Sebotol parfum dilempar dan pecah seketika saat membentur salah satu sisi bingkai pintu. Bunyinya langsung membuat Susan bergerak mundur, tidak berani mendekat. Di tangannya terdapat sebotol kecil berisi beberapa tablet obat penenang yang diminta Irene. Tapi bagaimana obat itu bisa menenangkan Tiara kalau gadis itu menolak didekati. Dia menjerit, melempar, memecahkan apa pun barang di sekelilingnya sehingga membuat siapa pun takut.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Marshmallow Meet Dark Chocolate
Mystery / ThrillerStatus: COMPLETED, buku II seri kembar Tiara Chrysantee Len--kembar keempat "Pilih salah satu: mati di tanganku, atau bunuh dirimu sendiri."