39. Trump Card Found: Black Tea

1.3K 190 13
                                    

“Ya ampun, lucu banget!” Susan memencet-mencet pipi gembung Ceri.

“Matanya kayak kelereng,” komentar Bagas.

“Tadinya kupikir Ma’am nggak balik lagi ke sini,” kata Abe.

Irene tertawa. “Biasalah, mertua,” jawabnya sambil menimang Ceri. “Orangtua punya mainan baru. Siapa sih yang nggak seneng?”

Irene dan Om Andy datang ke rumah hari Jumat sore. Semua penghuni mendadak heboh karena mereka datang bertiga. Bukan hanya itu, mereka juga membawa banyak makanan disambut sorakan. Susan, Bagas, Tiara, dan bahkan Logan sangat antusias melihat si Bayi yang masih sangat mungil dalam gendongan ibunya. Mereka tampak senang—kecuali satu.

Yanet bergidik. Mukanya pucat dan beberapa kali terlihat mual—entah karena melihat Ceri, atau memang sakit. Setelah memberi salam singkat pada Irene, dia langsung kembali ke kamar.

“Ranan pasti senang kalau ketemu Ceri,” ujar Tiara. “Ah, biar aku panggil Ranan ya!”

Irene buru-buru menghentikannya.

“Jangan dulu,” larangnya.

“Kenapa?”

“Bibi sudah kasih tahu Ranan kalau ke sini dengan Ceri. Kalau dia mau, dia bakal menemui bibi sendiri. Mungkin nanti. Bisa saja dia masih tidur. Ranan kan bangunnya waktu malam.”

Tiara mengangguk-angguk meski tidak sepenuhnya puas. Saat mereka sedang asyik-asyiknya bercengkerama, seseorang bertingkah mencurigakan berdiri dekat pagar gerbang yang terbuka lebar. Keningnya terlipat, dengan kelopak mata yang terus-terusan berkedut ragu. Beberapa kali dia melongok ke dalam, mengedarkan pandangan ke sekitar. Karena tidak ada bel di gerbang, dia tidak tahu bagaimana caranya memberitahu keberadaannya sekarang.

Haruskah dia masuk? Pintu utama rumah besar itu juga sedang terbuka lebar. Tapi bagaimana jadinya kalau dia salah rumah? Kalau pun rumahnya benar, apakah Ranan bersedia menemuinya?

Masam, dia memberi usul pada diri sendiri: sebaiknya dia pulang saja.

“Tamu?”

Gadis itu terkesiap. Membalikkan badan, dia melihat sosok Damar yang banjir berkeringat—baru saja selesai jogging. Mata Damar sedikit melebar saat mengenali gadis di depannya kini.

Dia seseorang yang mungil. Mungkin tingginya hanya beberapa senti di bawah bahu Damar. Rambutnya lurus dan tipis, sedikit melewati pundak. Wajahnya sama persis dengan gambaran yang bisa Damar ingat tentangnya. Ketika SMA, gadis itu tidak terlalu menonjol. Dia sangat pemalu, namun sangat baik dan ramah pada siapa pun. Damar yakin teman-teman seangkatannya masih sangat menghafal namanya.

Thera.

“Aku pikir Kak Thera lagi kuliah. Mau ketemu Ranan ya?”

Gadis itu langsung gelagapan. Damar tersenyum.

“Ayo, masuk. Ranan pasti senang ketemu samamu.”

***
“Kau kenapa sih? Masuk angin?” tanya Logan saat kepalanya melongok dari ambang pintu kamar Yanet.

Beberapa menit Yanet mengunci diri di kamar mandi. Gadis itu telah memuntahkan isi perut untuk yang ketiga kalinya hari ini. Saat akhirnya dia keluar, muka pucat kebiruannya tampak sangat jelas. Rambutnya diikat asal-asalan, dan sekarang helaiannya mencuat ke sana kemari tidak karuan.

“Makhluk itu …,” katanya menggantung.

Logan mengernyit. “Loli? Oreo?”

“Yang digendong itu.”

“Oh, Ceri. Kenapa?”

“Aku hanya akan membaik kalau mereka cepat-cepat membawanya pergi dari sini.”

When Marshmallow Meet Dark ChocolateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang