30. Game I: Lollipop

1.5K 165 9
                                    


"I promise you.. Everything will be okay.."

Ranan terpekur sendirian. Lampu kamar itu tidak dihidupkan sejak sore tadi. Dia menengadahkan kedua tangan di atas pangkuan. Pikirannya sunyi, tapi tidak benar-benar kosong. Hawa dingin yang diantar angin ternyata tidak mampu membekukan tangan tanpa sarung miliknya. Sudah lima jam berlalu, namun tangan itu dirasanya masih hangat.

Kau tidak sendiri karena tengah bersamaku.

Ranan lagi-lagi memejamkan mata sejenak, mengingat.

Irene adalah satu-satunya yang Ranan punya semenjak dia kehilangan segalanya. Wanita itu tetap berusaha mendekati Ranan yang saat itu bertekad menjadi gunung es abadi. Ranan pernah berbuat kasar padanya, mengatakan hal yang buruk, juga sengaja membuat Irene sedih. Waktu melihat Irene bersedih, Ranan hanya berkata dalam diri kalau luka pada wanita itu tidak seberapa—tidak bisa dibandingkan dengan dirinya. Tapi nyatanya, perlakuan Ranan tidak serta merta membuat Irene mundur. Dia bahkan bersedia merawat Ranan, bahkan menjadikannya sebagai putra, sementara kerabat Ranan yang lain terlalu takut dan khawatir melakukannya.

Irene selalu tersenyum. Ranan nyaris tidak pernah melihatnya dalam suasana hati yang muram—setidaknya saat mereka saling berhadapan. Tapi baru kali ini, Ranan melihat wajah lembut itu amat kesakitan, amat menderita. Macam-macam hal berkecamuk dalam hati Ranan. Dia terus menyalahkan diri karena tidak bisa berbuat banyak.

Akan tetapi..

Seseorang menghampirinya. Menyempatkan diri meski di saat yang genting, menatap Ranan dalam-dalam. Tidak hanya itu, sepasang tangannya yang hangat menangkup tangan Ranan.

Gadis yang dipenuhi aroma manis. Dia berjanji pada Ranan kalau semuanya akan baik-baik saja. Lewat mata yang teduh itu, dia meyakinkan Ranan.

Siapa? Ranan membatin bertanya. Ranan pernah melihat wajah yang bersinar dan hangat itu sebelumnya. Tapi dia yakin kalau bertahun-tahun telah terlewat. Orang itu tidak mungkin seorang gadis remaja seperti Tiara. Namun keduanya amat mirip. Sangat.

Ketika pintu kamar diketuk, Ranan mengerjap pelan. Seseorang itu melangkah pelan di belakangnya. Baru ketika melihat Ranan di balkon—mungkin—kakinya agak berlari. Dia berdiri di hadapan Ranan lantas berjongkok supaya kepala mereka sejajar. Senyumnya lagi-lagi merekah. Begitu sederhana.

"Selamat," ucap Tiara. "Selamat jadi kakak."

Ranan balas menatapnya, namun pandangan laki-laki itu menerawang. Kegelisahan yang sejak tadi merundungnya kini menguap. Akhirnya ucapan gadis itu membuat perasaan lega menjalar. Rasanya sangat.. sangat menenangkan.

Tiara mengerjap-ngerjap, masih menunggu reaksi Ranan. Laki-laki itu hanya memejamkan matanya. Bukankah seharusnya dia senang? Apa salah kalau Tiara mengharapkannya tersenyum?

Namun rupanya senyuman saja tidak cukup. Kedua tangan Ranan terangkat, menangkup wajah Tiara. Sebelum gadis itu sadar apa yang akan dia lakukan, tubuh Ranan condong ke depan. Kepalanya sedikit terangkat, dan Tiara hanya bisa melihat bagian dada yang berselimut sweater hitam. Hidungnya menangkap aroma mint bercampur harum cokelat.

Ditambah lagi kali ini, Tiara merasakan dahinya dikecup lembut—teramat halus dan juga hangat.

***
Yanet beruntung sesampainya di bandara dan untuk melanjutkan perjalanan kembali ke tempat Logan, dia diantar. Mobil hitam mengkilap, seolah hanya serupa bayangan di malam hari. Pengemudinya sama sekali tidak bicara, sama dengan Yanet yang enggan. Gadis itu hanya berucap sesekali untuk menunjukkan arah. Lalu ketika mereka sampai pada tanjakan ke rumah besar Irene berada, Yanet memilih turun.

Sambil melangkah, tanpa peduli kakinya lelah akibat sepatu hak tingginya, Yanet merenung. Pikirannya berkelebat berbagai macam hal.

Iblis.

When Marshmallow Meet Dark ChocolateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang